Jakarta, IDN Times - Melakoni bisnis sepatu bekas, sudah lebih dari setahun dijalani Farhan--bukan nama sebenarnya. Pria berusia 24 tahun ini memulai bisnis yang kini lebih dikenal dengan istilah thrifting tersebut sejak awal 2022.
Dia menjual sepatu-sepatu bekas secara online. Selama ini, mendapat stok sepatu bekas dari Kepulauan Riau dan Medan, yang kemudian dikirim ke Jakarta.
Bisnis thrifting bukanlah hal baru. Sejak lebih dari satu dekade, pedagang pakaian atau sepatu bekas sudah menjamur di Ibu Kota. Misalnya saja di Pasar Senen dan Pasar Poncol, Jakarta Pusat. Yang tak kalah populer di daerah, ada Pasar Cimol Gedebage, Bandung atau di Yogyakarta dan Semarang gerai thrifting dikenal dengan istilah awul-awul.
Bisnis thrifting kian marak setahun belakangan ini. Banyak masyarakat yang sebelumnya tak berdagang, terjun ke bisnis tersebut. Jika tadinya gerai fisik, kini thrift shop banyak ditemukan secara online seiring era berjualan digital.
Namun baru-baru ini para pemilik thrift shop kelabakan. Bisnis ini tengah disorot karena upaya pengetatan dan larangan dari pemerintah. Pemerintah beranggapan bisnis thrifting meningkatkan impor ilegal pakaian dan sepatu bekas. Ini dianggap mengganggu industri tekstil dan alas kaki dalam negeri.
Kepada IDN Times, Farhan dan pedagang thrift shop lain bercerita tentang menjalani bisnisnya, terutama di tengah kebijakan pemerintah yang dinilai 'menjegal' mereka yang tergolong sebagai usaha kecil ini.