Ruas jalan tol Solo–Yogyakarta segmen Klaten–Prambanan. (Dok. Pemprov Jateng)
Sementara, pakar energi sekaligus akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Syarifuddin Nojeng menuturkan, uji coba diperlukan untuk memastikan aspek keselamatan, performa mesin, serta kesesuaian standar sebelum bahan bakar tersebut dapat beredar secara komersial di masyarakat.
“Sebagai BBM alternatif harus memenuhi standar beberapa parameter misal titik nyala, RON dan sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, Syarifuddin menjelaskan, Bobibos termasuk kategori bioetanol yang saat ini dikembangkan pemerintah lewat sejumlah program energi baru terbarukan (EBT). Ia menilai, inovasi seperti ini berpotensi mendorong bauran energi bersih di sektor transportasi.
“Bobibos termasuk kelompok bioetanol yang terus dikembangkan melalui program E1 dan seterusnya, sampai menuju tingkat keekonomian yang layak,” kata dia.
Syarifuddin menegaskan, seperti halnya berbagai jenis biodiesel yang dikembangkan secara bertahap, Bobibos tetap membutuhkan riset lebih lanjut sebelum benar-benar siap dipasarkan.
Ia melanjutkan, riset menjadi faktor penting karena inovasi bioenergi dapat memberi kontribusi langsung pada target bauran energi nasional. Namun, ia mengingatkan bahwa ketersediaan bahan baku seperti jerami atau biomassa lain tetap harus dijamin agar pengembangan Bobibos berkelanjutan.
“Pemerintah harus mengakomodasi terutama hasil riset dari PT ataupun lembaga riset lainnya. Misalnya BRIN dan lembaga riset harus pula berkolaborasi dengan swasta sehingga terjadi link and match,” katanya.