Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gas karbondioksida. (pixabay.com/geralt)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah tak terima jika pasar karbon Indonesia dihargai murah, sementara negara maju lebih mahal. Alhasil, hingga kini belum tercapai kesepakatan menyangkut harga karbon milik Indonesia oleh negara-negara lain.

Dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2022 bertajuk "Unlocking Carbon Markets" di Davos, Swiss pada Mei 2022 lalu, Indonesia sudah menyuarakan aspirasinya agar ada kesetaraan harga karbon milik Indonesia dan negara-negara lain.

"Jadi karbon, kita tidak mengalami kesepakatan tentang harga," kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Senin (26/9/2022).

1. Indonesia tak mau ada standar ganda

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. (instagram.com/bahlillahadalia)

Dalam pertemuan di Davos, Bahlil memberikan masukan tentang Perjanjian Paris. Di dalamnya, karbon negara maju dihargai 100 dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan harga karbon negara berkembang hanya 10 dolar AS.

"Di saat bersamaan sumber (perdagangan) karbon terbesar itu adalah negara berkembang yang memang resources-nya (sumber daya), potensinya ada, seperti kita punya gambut, mangrove, karang, areal hutan yang belum diapa-apain, tapi harganya dibuat murah," ujarnya.

Oleh karenanya, Bahlil menegaskan jangan ada standar ganda yang diberlakukan oleh negara-negara maju, hingga akhirnya terjadi perdebatan sengit dan belum tercapai kesepakatan.

2. Negara maju beralasan butuh biaya lebih besar

Editorial Team

Tonton lebih seru di