Bicara soal tiket pesawat, pasti tidak lepas dari maskapai penerbangan itu sendiri. Ada banyak komponen, selain bahan bakar pesawat atau avtur yang ternyata mempengaruhi harga tiket pesawat.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menyarankan agar pemerintah tidak membangun bandara yang terlalu mewah karena akan berdampak pada pajak bandara yang mahal dan berpengaruh pada harga tiket pesawat.
“Jangan bangun bandara kayak mal, cukup yang funsgional. Kalau itu mahal akibatnya kita sebagai penumpang bayar PSI atau aiport tax mahal, mahal nanti di tiket,” ujarnya.
Namun merujuk pada komponen biaya maskapai yang disampaikan Kementerian Perhubungan, biaya untuk bandara meliputi jasa bandara dan ground handling, masing-masih hanya 2 persen atau total 4 persen dari keseluruhan biaya.
Lalu bagaimana dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar? Terlebih banyak komponen pesawat yang dibeli menggunakan dolar namun pendapatan maskapai di Indonesia mayorita berasal dari rupiah.
Huda menyebut memang ada pengaruhnya, namun tidak sebanding dengan kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi.
“Perbedaan jenis biayanya juga relatif tidak ada. Kita juga tengok harga per seat per km maskapai di Asia Tenggara juga mengalami penurunan harga. Cuma di Indonesia yang mengalami kenaikan, menurut saya masih apple to apple,” katanya.
Masalah inefiesiensi lalu menjadi sorotan Huda. Menurut Huda, berdasarkan data dari Center for Aviaton dan International Air Transport Association, ketika sudah mencapai usia yang sudah sekian puluh tahun, maskapai seperti Garuda Indonesia bisa lebih efisien karena tingkat keterisian atau breakeven load factor mereka berada di atas rata-rata maskapai di Asia Pasifik yang berada di angka 67-69 persen.
“Tingkat keterisian maskapai di Indonesia mencapai 78 persen. Harusnya sih maskapai di Indonesia sudah bisa untung jika efisien. Penggunaan armada juga menjadi salah satu yang paling menentukan. Bisa jadi penggunaan pesawat dengan kapasitas kecil butuh load factor lebih tinggi untuk mencapai breakeven,” jelasnya.
Inefisiensi seperti ini bisa terjadi karena organisasi atau rute-rute yang sepi penumpang namun dipaksakan. “Pasalnya biaya operasional untuk sekali terbang ke surbaya itu saya hitung cuman Rp400ribuan. Akan tetapi harganya berkali kali lipat dari itu,” ungkap Huda.
Faktor lainnya adalah harga per seat per km maskapai di Asia Tenggara juga mengalami penurunan harga. “Cuma di Indonesia yang mengalami kenaikan,” katanya.
Huda mengatakan biaya rata-rata penerbangan itu adalah US$15 per kursi per jam. Sementara di Indonesia harganya mencapai US$60 per kursi per jam dengan menggunakan asumsi perjalanan Jakarta-Semarang. “Keuntungannya sudah besar,” ucapn Huda.
Ketiga adalah monopoli rute domestik oleh 2 grup maskapai besar yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group. Kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar nasional.
Terlebih pada tahun kemarin ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia yang menyebabkan tingkat konsentrasi dua perusahaan besar mnejadi 96 persen. Bahkan, sejak 2010, Huda menyebut nyaris tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik.
“Hal ini menyebabkan adanya peningkatan monopoli power dari keduanya untuk menaikkan harga. Pengambilalihan itu (Sriwijaya Air) untuk koordinasi harga lebih gampang. Buktinya ada beberapa orang Garuda yang rangkap jabatan di Sriwijaya,” ujarnya.
Pengambilalihan Sriwijaya Group juga dinilai telah menghilangkan kompetitor yang bisa menjadi pengganggu dan pesaing utama Garuda Indonesia dan Lion Air Group. Penggabungan ini untuk meningkatkan kolusi dan koordinasi. Tinggal Air Asia sendiri yang bersaing dengan dua maskapai besar di Indonesia.
Kebijakan tarif batas bawah dan atas juga menjadi faktor lainnya. Alih-alih menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) pada awal isu harga ini muncul, pemerintah justru menaikkan Tarif Batas Bawah (TBB) penerbangan domestik dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari batas atas.
“Kenaikan ini berasalan untuk melindungi perusahaan. Namun masalahnya adalah perusahaan mana yang dilindungi ketika hanya ada dua grup perusahaan saja yang bermain dalam penerbangan domestik. Alasan tersebut sangat klise mengingat tidak adanya perusahaan yang perlu perlindungan. Justru perusahaan maverick atau penggangu bagi kartel yaitu AirAsia dihilangkan dari travel online agent yang diduga ada desakan dari pelaku kartel,” papar Huda.