Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. (IDN Times/Sunariyah)
Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera, FGV mengatakan telah mengambil "langkah konkret selama beberapa tahun terakhir" untuk meningkatkan praktik ketenagakerjaannya.
Perusahaan mengatakan para pekerja migrannya, kebanyakan dari Indonesia dan India, diberi pengarahan tentang persyaratan kerja, ruang lingkup pekerjaan, serta hak dan tanggung jawab mereka sebelum mereka meninggalkan negara asal dan setibanya di Malaysia.
Ia juga mengatakan bahwa mereka membayar pekerjanya “paling tidak, upah minimum” di bawah hukum Malaysia, dan telah menghabiskan 350 juta ringgit Malaysia (84,4 juta dolar AS) selama tiga tahun terakhir untuk meningkatkan fasilitas perumahan bagi staf perkebunannya.
FGV juga membantah telah menahan paspor pekerjanya, dan menambahkan bahwa mereka telah memasang 32.350 kotak pengaman bagi stafnya untuk menyimpan dokumen mereka.
Smith dari CBP mengatakan, raksasa barang konsumen AS Procter & Gamble, yang memiliki usaha patungan dengan FGV, harus menganggap larangan itu "serius" jika mereka adalah importir produk minyak sawitnya. Procter & Gamble tidak segera menanggapi kantor berita Reuters untuk meminta komentar.
Larangan CBP muncul setelah kelompok hak asasi manusia meminta otoritas AS tahun lalu untuk menyelidiki FGV atas kekhawatiran tentang kerja paksa dan perdagangan manusia di perkebunannya.
Sekitar 80 persen pekerja perkebunan sawit di Malaysia, atau sekitar 337.000 pekerja, adalah pendatang dari negara-negara termasuk Indonesia, India dan Bangladesh.
FGV Holdings mengakui, hingga Agustus ini, memperkerjakan 11.286 buruh dari Indonesia dan 4.683 buruh India. Mereka membantah telah merekrut karyawan kontrak.
Kelompok anti-perdagangan manusia Liberty Shared mengajukan petisi ke CBP pada bulan April terhadap produsen minyak sawit Malaysia lainnya, Sime Darby Plantation, atas dugaan pelecehan tenaga kerja.
Perusahaan tersebut mengatakan pada bulan Juli telah meminta informasi lebih lanjut kepada kelompok hak asasi dan bahwa mereka akan segera menangani setiap pelanggaran setelah penyelidikan menyeluruh.
Menurut situs resminya, FGV Holdings menguasai 15 persen produksi sawit di Malaysia.
Malaysia dan Indonesia menguasai hampir 70 persen produksi sawit dunia. Selama ini produk minyak sawit Indonesia selalu dipermasalahkan oleh negara tujuan ekspor.
Uni Eropa menghambat ekspor minyak sawit dan turunannya ke kawasan itu dengan alasan lingkungan hidup. Indonesia dan sejumlah negara tengah menggugat larangan itu lewat jalur organisasi perdagangan dunia (WTO).