ilustrasi kontainer peti kemas (pexels.com/Ollie Craig)
Pada 1983, Ali Wardhana beralih jabatan menjadi Menko Ekuin, dan kursi Menteri Keuangan diduduki oleh Radius Prawiro. Perubahan juga terjadi di Bea Cukai dengan dilantiknya Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Hankam, sebagai Direktur Jenderal.
Meskipun Radius Prawiro saat pelantikan berjanji akan memerangi penyelundup hingga ke akar-akarnya, penyelewengan tetap terjadi. Aparat Bea Cukai masih dikeluhkan pengusaha, termasuk dari Jepang, karena praktik pungutan liar, ribet, dan berbelit-belit.
Melihat kondisi yang tak kunjung membaik, Presiden Soeharto akhirnya mengambil tindakan radikal. Setelah berdiskusi dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Soeharto ambil tindakan.
Dia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang. Berpegang pada Inpres tersebut, pemerintah memutuskan untuk mencabut sebagian besar wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kala itu, peran Bea Cukai dipercayakan kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan swasta asal Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). Itulah peristiwa pembekuan kewenangan yang menjadi preseden ancaman Menkeu Purbaya saat ini.