Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berhasil memproduksi listrik dari sumber energi bersih atau energi terbarukan sebesar 4.618 Giga Watt Hour sepanjang tahun 2020. (Dok. Pertamina)
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berhasil memproduksi listrik dari sumber energi bersih atau energi terbarukan sebesar 4.618 Giga Watt Hour sepanjang tahun 2020. (Dok. Pertamina)

Jakarta, IDN Times - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PGE memaparkan adanya saldo modal kerja (working capital) negatif dalam laporan kinerja keuangan terakhirnya. Sejumlah risiko besar pun siap menghadap PGE atas kondisi tersebut.

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2022, PGE memiliki saldo modal kerja negatif sebesar 424.475 dolar Amerika Serikat (AS).

Keberadaan modal kerja negatif itu menunjukkan bahwa utang lancar yang dimiliki PGE lebih besar dibandingkan aset lancarnya.

Kemudian pada saat bersamaan, total utang PGE tercatat mencapai 943,28 juta dolar AS yang terdiri dari pinjaman bank jangka panjang setelah dikurangi bagian yang akan jatuh tempo dalam satu tahun senilai 327,7 juta dolar AS.

Sementara utang jangka pendek atau utang lancar perseroan tercatat masih sekitar 615,58 juta.

1. Risiko likuiditas

Pertamina Geothermal Energy

Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan dalam keterangannya mengatakan, ada tiga risiko yang dihadapi PGE ketika mengalami modal kerja negatif.

Pertama adalah risiko likuiditas. Alfred mengatakan, PGEO akan kesulitan menghadapi kondisi eksternal seperti penagihan utang jatuh tempo.

Menurut dia, kondisi seperti itu dapat membuat perusahaan memburuk. Dengan kata lain, perusahaan dengan modal kerja negatif lebih sulit saat menghadapi turbulence dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki modal kerja positif.

"Ketika perusahaan dengan likuiditas tidak baik, maka akan semakin berisiko terhadap faktor-faktor atau risiko ke depannya," kata Alfred, Jumat (19/5/2023).

Bahkan, Alfred menjelaskan, kondisi perusahaan dengan modal kerja negatif juga lebih berisiko default.

"Walaupun manajemen mengklaim mendapat dukungan dari holding, tapi tetap saja di atas kertas risiko default lebih besar ketimbang ketika perseroan memiliki modal kerja positif," ujarnya.

2. Risiko pendanaan operasional

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berhasil memproduksi listrik dari sumber energi bersih atau energi terbarukan sebesar 4.618 Giga Watt Hour sepanjang tahun 2020. (Dok. Pertamina)

Risiko kedua, lanjut Alfred, adalah terganggunya pendanaan operasional yang harus dihadapi PGEO menyusul kas yang idle.

"Modal kerja negatif juga dapat mempersempit perseroan dari sisi operasional sehingga pergerakan PGEO untuk menjalankan bisnis atau ekspansi menjadi terbatas," ucap dia.

3. Risiko dari sisi stakeholder

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)

Adapun risiko ketiga menurut Alfred adalah persepsi negatif dari para stakeholder PGE. Hal itu dapat memberikan sentimen buruk kepada pelaku pasar dan berisiko memberikan dampak negatif pula bagi kinerja saham PGEO di Bursa ke depannya.

"Karena informasi terkait kondisi ini dilaporkan sendiri oleh manajemen dan dibaca oleh stakeholder. Tentu mereka akan melihat kondisi modal kerja negatif ini sebagai gambaran yang tidak bagus," papar dia.

Alfred pun mengimbau kepada para investor untuk terus memperhatikan kondisi PGE aat ini.

"Kalau semakin lama kondisi working capital minus, berarti menjadi sinyal bagi para investor untuk melihat potensi emiten-emiten lain yang mempunyai kondisi keuangan lebih sehat," kata dia.

Editorial Team