Sri Mulyani kemudian menyampaikan, dengan adanya perubahan harga keekonomian yang menggunakan asumsi ICP pada 100 dolar AS per barel maka subsidi energi akan menggelembung menjadi Rp208,9 triliun atau naik Rp74,9 triliun.
"Untuk BBM dan LPG akan melonjak lebih dar dua kali lipatnya, Rp149,4 triliun atau naik Rp71,8 triliun, hampir dua kali lipatnya dan listrik naik ke Rp59,6 triliun atau naik Rp3,1 triliun," ucap dia.
Sementara, sambung Sri Mulyani, untuk kompensasi bakal meledak sangat tinggi karena barang-barang yang tadinya tidak diatur juga tidak dinaikkan.
"Pertalite dalam hal ini tidak diubah harganya. Kalau masyarakat kemarin mudik dengan mobil dan menggunakan Pertalite, itu adalah bagian dari yang nanti harus dibayar oleh pemerintah ke Pertamina dalam bentuk kompensasi Rp114,7 triliun, kalau harga minyak terus menerus di atas 100," bebernya.
Jadi, kata Sri Mulyani, angaran untuk kompensasi akan mengalami lonjakan dari yang tadinya hanya dialokasikan Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun atau lebih tinggi Rp216,1 triliun dari sebelumnya.
"Maka kompensasi dan subsidi melonjak sangat tinggi dari Rp152,5 triliun menjadi Rp443,6 triliun atau naiknya Rp291 triliun," ujarnya.
Untuk itu, kata Sri Mulyani, pemerintah perlu segera melakukan penyesuaian pagu subsidi dan kompensasi, sehingga keuangan badan usaha ini menjadi sehat dan dapat menjaga ketersediaan energi nasional.
"Untuk menjaga keadilan dan berbagi beban, pemerintah perlu menaikkan tarif listrik bagi pelanggan 3.000 watt," katanya.
Pemerintah butuh tambahan subsidi energi di tahun 2022 sebesar Rp74,9 triliun, di mana BBM dan LPG mencapai Rp71,8 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp3,1 triliun. "Ini kita usul dibayarkan secara keseluruhan," katanya.
Dengan demikian maka total tambahan kompensasi tahun 2022 diusulkan jadi Rp324,5 triliun, di mana Rp108,4 triliun di antaranya merupakan tagihan tahun lalu yang sudah diaudit oleh BPK.
Hal itu tak terlepas dari lonjakan harga komoditas energi, yakni batu bara dan minyak mentah yang jadi bahan baku produksi kedua BUMN tersebut, sehingga Pertamina dan PLN harus nombok besar.
Dari angka ini, pemerintah mengusulkan kepada DPR dibayarkan Rp275 triliun saja, sisanya akan diaudit BPKP dan pembayaran settlement akan dilakukan tahun 2023 sebesar Rp49,5 triliun.