Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi ojek online (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Jakarta, IDN Times – Beberapa hari lalu mitra driver Gojek sempat berencana melakukan mogok melalui off bid massal. Aksi mogok digaungkan oleh para driver GoKilat (Gosend) menyikapi perubahan skema insentif yang muncul setelah lahirnya GoTo, hasil merger Gojek dengan Tokopedia. 

Mereka menyebut skema baru itu merugikan karena membuat insentif yang mereka terima berkurang, juga diberlakukan secara sepihak. Aksi protes terkait pendapatan sopir ojek online bukan baru kali ini saja terjadi. Berbagai tuntutan tentang skema batas tarif juga telah menjadi masalah alot dalam beberapa tahun ke belakang.

Bukan hanya para driver, mitra kurir perusahaan marketplace pun seringkali mengelukan nasib mereka. Pertengahan April lalu, para kurir Shopee mogok kerja. Mereka memperjuangkan nasib upah yang dipotong menjadi Rp1.800 per paket berdasarkan aturan terbaru perusahaan per 5 April. Tak hanya itu, beban mereka pun semakin berat karena jika mereka tidak sanggup mengirimkan 40 paket sehari, harga per paket menjadi Rp2.500, tanpa insentif.

Di mana pangkal persoalan? Para mitra mengeluhkan masalah upah, insentif, dan beban, dan kontrak kerja. Namun, adakah undang-undang yang mengatur hak pekerja dengan status mitra?

1. Pekerja mitra dalam konteks ekonomi gig

Suasana unjuk rasa driver Gojek di Kantor Gojek Komplek CBD Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Semua persoalan tuntutan hak para mitra bermuara kepada status mereka dalam hubungan kerja dengan perusahaan. Masalah tak mudah diurai karena status mereka berbeda dari para pekerja kebanyakan. Nasib pekerja dengan status mitra di Indonesia belum diatur sepenuhnya secara resmi berdasarkan hukum.

Dalam perundangan ketenagakerjaan sejak dulu hingga era omnibus law, Indonesia tidak mengenal pekerja dengan status mitra. Hanya dua jenis hubungan kerja yang diakui yakni perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Menurut Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, istilah pekerja mitra muncul karena adanya pola bisnis baru. Istilah pekerja mitra lekat dengan golongan gig workers dalam konteks gig economy.

Gig economy mengacu pada pada konsep pekerjaan bagi pekerja kontrak independen atau pekerja lepas, bukan pekerja paruh waktu. Istilah ini kian sering dipergunakan dalam konteks pekerja platform digital atau pekerja lepas dalam penyelenggaraan pertunjukan.

Di banyak negara, klasifikasi hukum gig workers atau pekerja gig masih diperdebatkan. Perusahaan sering mengklasifikasikan pekerja mereka sebagai pekerja kontrak. Sedangkan golongan proburuh berusaha agar mereka diklasifikasikan sebagai karyawan, di mana perusahaan harus menyediakan paket tunjangan karyawan dan hak-hak penuh karyawan lainnya.

Jumlah pekerja gig terus berkembang seiring perkembangan dunia digital dan platform yang berbasis online. “Dengan adanya pola-pola bisnis terbaru membuat potensi terhadap tumbuhnya gig worker semakin tinggi dan memang masih belum ada regulasi yang fokus terhadap gig worker,” kata Andry Satrio beberapa waktu lalu.

Dilansir gigeconomydata.org, sekitar 25-35 persen pekerja terlibat dalam pekerjaan nonstandar atau pekerjaan gig, berdasarkan survei tenaga kerja yang dilakukan MBO Patners, Freelancers' Union, dan McKinsey Global Institute. Di sisi lain, Investopedia menyebut gig economy dianggap melemahkan ekonomi tradisional pekerja penuh waktu yang sering fokus pada pengembangan karier mereka.

Di Indonesia, di mana penggolongan pekerja lepas tidak dilakukan secara spesifik, pembagian hanya didasarkan pada pekerja lepas sektor pertanian dan nonpertanian. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Keadaan Pekerja Indonesia Agustus 2020, tercatat ada 5.919.782 pekerja lepas sektor pertanian di Indonesia yang terdapat di kota dan desa.

Angka ini meningkat dibandingkan Februari 2020 sebanyak 4.982.052 pekerja lepas. Meski begitu terjadi penurunan rata-rata pendapatan bersih pekerja lepas sektor pertanian di Indonesia dari Februari 2020 sebesar Rp1.070.579 menjadi Rp1.050.366 pada Agustus.

Sementara jumlah pekerja lepas nonpertanian pada Februari 2020 sebanyak 5.890.888 orang dan meningkat pada Agustus 2020 menjadi 7.197.176 orang. Namun lagi-lagi, terjadi penurunan rata-rata pendapatan bersih di mana pada Februari sebesar Rp1.757.883 menjadi Rp1.636.042 pada Agustus 2020.

Infografis Pekerja Lepas / Bebas di Indonesia Agustus 2020 (IDN Times/Aditya)

2. Aturan hukum apa yang melindungi pekerja dengan status mitra?

Editorial Team

Tonton lebih seru di