Jakarta, IDN Times - Berdasarkan laporan PwC, 95 persen perusahaan yang ada di Indonesia adalah bisnis milik keluarga. Dominasi perusahaan keluarga ini tak hanya berasal dari perusahaan kecil.
Riset Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan, perusahaan-perusahaan raksasa di Asia Tenggara berasal dari bisnis keluarga. Sebanyak 54 dari 200 perusahaan terbesar di wilayah ini merupakan perusahaan keluarga.
“Perusahaan keluarga yang besar ini memiliki pengaruh besar pada ekonomi, tetapi mereka juga rentan mengalami perpecahan akibat ketegangan antar anggota keluarga,” kata Profesor Bisnis Keluarga Peter Lorange IMD, Marleen Dieleman dalam keterangan resminya, beberapa waktu lalu.
The International Institute of Management and Development (IMD) dan Entrepreneurs’ Organization (EO) Indonesia memberikan informasi terkait tata kelola untuk menjaga keharmonisan keluarga sembari terus menjaga kesuksesan bisnis keluarga.
Presiden EO Indonesia, Sophia Sung menyatakan, tanpa perencanaan dan peraturan keluarga yang matang, potensi perselisihan dan perebutan kekuasaan meningkat sehingga menjadi pemicu keretakan keluarga. Oleh karena itu, generasi kedua dan ketiga yang terdampak oleh konflik keluarga terpicu untuk mencari solusi agar masalah serupa tak lagi terjadi.
“Salah satu contohnya adalah Grup Kawan Lama yang kini dikelola oleh generasi ketiga. Mereka memiliki banyak entitas bisnis tapi tetap bisa menjaga keharmonisan keluarga. Grup Bluebird juga kini ada ditangan generasi ketiga dan mereka mampu mengelola dengan baik,” papar dia.
Menurut Dieleman, transisi antar generasi di perusahaan keluarga memang perlu dilakukan secara hati-hati. Pemilik perusahaan memiliki kecenderungan untuk menunda untuk meningkatkan profesionalitas tata kelola mereka.
“Dengan maraknya peralihan perusahaan keluarga dari generasi dua ke generasi ketiga di Indonesia, kurangnya perhatian pada tata kelola ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kegagalan bisnis para konglomerat ini,” katanya.
Sesuai namanya, bisnis keluarga memadukan dua hal, yakni bisnis dan keluarga. Untuk itu, pertama-tama pemilik bisnis perlu melakukan penilaian seberapa besar dan rumit bisnis dan keluarga mereka.
Dari hasil penilaian itu, pemilik bisnis lantas bisa menentukan seberapa sistem tata kelola seperti apa yang perlu diterapkan. Dieleman lalu memperkenalkan kerangka GRID atau Governance Risk Identifier (Pengidentifikasi Risiko Tata Kelola) untuk menjadi tolok ukur bisnis keluarga untuk menerapkan tata kelola yang relevan.
Kerangka GRID ini dibagi menjadi empat kuadran untuk membedakan tingkat kompleksitas bisnis dan keluarga. Keempat kuadran itu akan memberikan solusi tata kelola yang tepat seperti dijelaskan sebagai berikut: