tokopedia.com/Viar New Q1
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat, subsidi kendaraan listrik tanpa pembatasan produksi kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM) menjadi kurang efektif.
Menurutnya, ketika masyarakat melihat kesiapan infrastruktur pendukung seperti perbandingan SPBU BBM dengan stasiun pengisian daya atau penggantian baterai, akan tetap memilih kendaraan konvensional.
"Kemudian fasilitas bengkel dan kemudahan mendapatkan sparepart juga jauh lebih unggul kendaraan BBM," ujar Bhima.
Selain itu, fasilitas leasing kendaraan konvensional dibanding kendaraan listrik juga akan mempengaruhi minat masyarakat. Oleh karena itu, idealnya ada pembatasan penjualan atau produksi kendaraan konvensional, kecuali untuk pasar ekspor.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga mengkritisi kebijakan tersebut. Memang, memberikan subsidi dari sisi demand dapat mendorong berkembangnya industri.
Tapi, masalahnya adalah bantuan pemerintah untuk KBLBB diberikan ketika industrinya belum benar-benar siap berkembang, dan belum ada keterkaitan antara industri kendaraan listrik dengan industri pendukungnya.
"Jadi, kalau ini duluan diberikan (bantuan) akan banyak pembelian kendaraan listrik malah jadi meningkatkan impor, karena komponen dan baterainya belum siap di dalam negeri," ujar Faisal.
Diketahui bahwa syarat kendaraan listrik mendapatkan subsidi adalah memiliki TKDN minimal 40 persen. Artinya, 60 komponen lainnya dapat dipenuhi melalui impor.
"Padahal salah satu tujuan untuk mengembangkan kendaraan listrik adalah mengurangi impor migas kan. Jadi impor migasnya bisa berkurang, tapi malah menaikkan impor nonmigas, nanti khawatirnya karena kita malah jadi impor komponen," tambahnya.