Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo di sela pembahasan postur anggaran RAPBN 2019 (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Sementara itu, pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk, Rully Nova menilai, faktor eksternal masih mempengaruhi pergerakan kurs rupiah. Pelaku pasar, imbuhnya, masih mengantisipasi kebijakan The Fed selanjutnya terkait suku bunga.
Sejauh ini pasar menilai, the Fed masih memiliki peluang untuk menaikan suku bunga di tengah sejumlah data ekonomi Amerika Serikat yang tumbuh. Dia juga menganalisis, perang dagang juga masih membayangi, bahkan dikhawatirkan berdampak negatif bagi perekonomian di negara-negara berkembang.
"Sentimen dari dalam negeri sebenarnya positif, namun faktor eksternal itu yang mengalihkan perhatian pelaku pasar," katanya.
Sedangkan analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong mengatakan perang dagang akan memicu Tiongkok untuk melakukan devaluasi mata uangnya, kondisi itu tentu berimbas pada mata uang di kawasan sekitar.
Sejumlah sentimen positif dari dalam negeri belum "melawan" faktor eksternal tersebut sehingga kurs rupiah belum bisa dikerek ke level di bawah Rp15 ribu per dolar AS.
Salah satu sentimen positif tersebut adalah neraca perdagangan yang surplus di bulan September 2018.
Selain itu, BI juga mencatat cadangan devisa Indonesia cukup tinggi di akhir Agustus, yakni sebesar US$117,9 miliar. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan akhir Juli 2018 yang berada di level US$118,3 miliar.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.