Ilustrasi menabung. (IDN Times/Sukma Shakti)
Suharso tak menampik bahwa Indonesia memiliki tantangan dari sisi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih tinggi. Ketertarikan investor untuk berinvestasi baik investasi domestik maupun investasi luar negeri tentu akan mempertimbangkan berbagai hal.
"Antara lain tingkat imbal hasil yang akan diperoleh pada investasi serta kemampuan mengelola berbagai risiko yang melekat pada investasi tersebut," ujarnya.
Oleh karena itu, salah satu ukuran yang sering digunakan adalah ICOR. Sebab, ICOR menunjukkan respons dari perubahan output ekonomi secara agregat akibat adanya perubahan pada investasi atau kapital.
Semakin tinggi nilai ICOR, maka dibutuhkan tambahan kapital atau tambahan investasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan tambahan satu satuan output. Jika suatu negara memiliki ICOR yang tinggi menunjukkan bahwa kegiatan investasi semakin tidak efisien. Hal ini akan memengaruhi ketertarikan investor untuk melakukan kegiatan investasi.
"Yang jadi masalah di kita ICOR yang masih tinggi, dengan ICOR masih 6 dengan pertumbuhan ekonomi tumbuh 5 persen (yoy) sehingga butuh investasi yang besar. Tadi Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) meneritakan kemarin datang ke SKK Migas, bagaimana investasi yang bisa dilakukan di AS hanya sepertiganya tapi di Indonesia 3 kali lipat," papar Suharso.
Menurutnya, banyak pekerjaan rumah untuk menekan ICOR, apabila ICOR Indonesia kembali ke zaman Orde Baru sekitar 4, maka ekonomi Indonesia sudah tumbuh 7 hingga 7,5 persen saat ini.
"Dengan kapasitas investasi yang kita miliki hari ini. Tetapi karena ketidakefisienan dan banyak hal secara detail harus kita pelototi makanya. Jika itu bottle necking di regulasi maka regulasi seperti apa," katanya.