Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (x.com/WhiteHouse)
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (x.com/WhiteHouse)

Intinya sih...

  • Risiko volatilitas AS meningkat seiring shutdown pemerintah

  • Data ekonomi utama tertunda, menaikkan tensi Perang Dagang

  • Dampak tarif tambahan 100 persen AS ke China terhadap pasar keuangan global

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) dan China kembali bersitegang setelah Presiden Donald Trump memberikan tarif tambahan 100 persen ke Negeri Tirai Bambu dari tarif 30 persen yang ada selama ini. Selain itu, Trump juga melakukan kendali ekspor atas semua perangkat lunak kritis.

Hal itu dilakukan Trump usai China melakukan kendali ekspor mineral tanah jarang atau rare earths minerals. Adapun tambahan tarif ini akan mulai dikenakan AS per 1 November 2025.

"Langkah Trump akan memberikan tekanan lebih tinggi kepada inflasi AS tahun ini. Ekspektasi inflasi konsumen AS untuk satu tahun ke depan naik menjadi 3,4 persen pada September 2025, tertinggi dalam lima bulan terakhir. FOMC minutes menekankan bahwa risiko inflasi AS dan pelemahan pasar tenaga kerja masih meningkat sehingga keputusan pelonggaran kebijakan moneter dilakukan dengan hati-hati," tutur Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, Senin (13/10/2025).

1. Risiko volatilitas AS semakin meningkat seiring shutdown

protes shutdown di depan Gedung Putih pada 2019. (AFGE, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)

Di sisi lain, meningkatnya risiko volatilitas di saat AS juga memasuki pekan ketiga penutupan (shutdown) layanan pemerintahannya.

Saat ini, kata Andry, publikasi sejumlah data ekonomi utama seperti indeks harga konsumen AS (CPI) diperkirakan masih akan tertunda.

"Langkah ini akan kembali menaikkan tensi Perang Dagang yang sempat turun di Agustus dan September," ujar Andry.

2. Dampak tarif tambahan 100 persen AS ke China terhadap pasar keuangan global

Gedung Federal Reserve System (The Fed) Amerika Serikat (federalreserve.gov)

Andry mengatakan, langkah Trump membuat investor kembali risk offterhadap aset Negara Berkembang (EMs). Indeks dolar AS kembali meningkat ke atas level 99 kembali.

Kemudian indeks Dow Futures turun 887 poin menjelang pembukaan pasar saham pada hari Senin. Di sisi lain, US Treasury yield turun ke 4,036 persen sebagai dampak kembalinya capital flows to save haven assets.

Selain itu, sentimen inflasi AS yang meningkat dapat mempengaruhi The Fed dalam menurunkan Fed Funds Rate dan mendorong penguatan DXY dan tekanan pelemahan rupiah ke depannya .

"Sikap The Fed ini mengindikasikan kebijakan gradual easing, bukan pelonggaran yang agresif. Separuh anggota The Fed memperkirakan akan tetap ada dua kali penurunan suku bunga tambahan pada kuartal IV-2025. Market konsensus melihat probabilitas penurunan FFR sebesar 25 bps menjadi 4 persen pada 29 Oktober 2025 sebesar 98,3 persen," kata Andry.

3. Dampak perang dagang AS-China ke Indonesia

ilustrasi rupiah melemah (IDN TImes/Aditya Pratama)

Andry juga mengungkapkan sejumlah kondisi yang terjadi pada perekonomian dan pasar keuangan Indonesia pada akhir pekan lalu atau Jumat (10/10/2025).

Nilai tukar (kurs) rupiah ditutup di Rp16.553 per dolar AS atau terdepresiasi 2,80 persen a (ytd). Kemudian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,1 persen ke 8.258 (+16,6 persen ytd) dan yield Obligasi 10 tahun di 6,12 persen (-88,2 bps ytd).

Kemudian secara ytd, pasar saham mengalami aliran dana asing keluar (net outflow) sebesar Rp53,5 triliun dan pasar obligasi net inflow Rp26,5 triliun. Sementara itu, di pasar SRBI, rata-rata SRBI 12 bulan tercatat sebesar 4,76 persen (-254 bps ytd) dan aliran dana asing tercatat mengalami net outflow Rp133,4 triliun (ytd) per September 2025.

Sampai dengan 10 Oktober 2025, nilai SRBI yang sudah jatuh tempo tercatat sebesar Rp1.263,2 triliun, outstanding SRBI di Rp635,7 triliun dibandingkan Rp924 triliun pada Desember 24 dan Rp709,1 triliun pada akhir September 2025.

"Ke depan, kami melihat tekanan volatilitas akan kembali meningkat dengan sumber dari dua kutub: AS dan China. Kami meyakini akan ada pembicaraan lanjutan terkait ekspor rare earth mineral dari China ini yang membuat tingginya tingkat volatilitas bisa kembali menurun di jangka pendek (kurang dari sebulan)," tutur Andry.

Selain itu, Indonesia tetap perlu mewaspadai potensi pelemahan nilai tukar karena capital outflows dan trade diversion dari China ke Indonesia. Hal itu lantaran defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China meningkat ke 13,1 miliar dolar AS ytd hingga Agustus dibandingkan 8,1 miliar dolar AS ytd 2024.

"Kami meyakini, Bank Indonesia terus akan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas rupiah dan sektor keuangan Indonesia," kata Andry.

Editorial Team