[WANSUS] Chatib Basri Bahas Zombie Companies hingga Proyeksi 2021

Jakarta, IDN Times - Ekonomi global, termasuk Indonesia, tidak bisa berbicara banyak di 2020. Maklum, pandemik COVID-19 yang menghantam hampir seluruh dunia membuat aktivitas ekonomi semua negara mengalami kelumpuhan. Indonesia, merupakan salah satu yang juga merasakan dampak tersebut. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana, perusahaan gulung tikar, hingga meningkatnya kemiskinan.
Pemerintah bersama pemangku kepentingan lain telah berupaya sekuat tenaga untuk melawan wabah tersebut. Berbagai insentif dikeluarkan, mulai dari keringanan pajak, bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin, hingga bantuan untuk pelaku UMKM.
Hingga awal Desember 2020, pemerintah mencatatkan realisasi anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) baru mencapai Rp483 triliun. Adapun total anggaran PEN yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp695 triliun.
Secara rinci, realisasi dari sektor kesehatan mencapai Rp47,05 triliun (47 persen), perlindungan sosial sebesar Rp217,6 triliun dari total anggaran Rp230,21 triliun, lalu sektoral K/L dan pemda, realisasinya Rp55,68 triliun (82 persen). Lalu pembiayaan korporasi realisasinya Rp8,16 triliun atau 13 persen. Anggaran tersebut ditujukan sebagai dukungan korporasi melalui BUMN serta penjaminan modal kerja.
Selanjutnya ada dukungan untuk UMKM yang baru terealisasi sebesar Rp106,46 triliun dari pagu anggaran Rp116 triliun. Terakhir, adalah insentif usaha untuk memberikan kelonggaran pembayaran pajak bagi dunia usaha, dan saat ini realisasinya 41 persen atau Rp49,12 triliun.
Upaya penanganan COVID-19 tidak hanya dilakukan melalui insentif dari sisi pembiayaan, namun juga pemerintah akan memberikan vaksin kepada seluruh masyarakat Indonesia. Harapannya jelas, usai vaksinasi dilakukan, ekonomi perlahan-lahan bisa pulih.
Lantas, apakah kebijakan dan upaya pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 efektif? Mungkinkah ekonomi Indonesia pulih di 2021?
Berikut hasil wawancara IDN Times bersama mantan Menteri Keuangan sekaligus Ekonom Senior, Chatib Basri. Wawancara ini dilakukan dalam rangkaian Indonesia Millennial Report 2020 yang akan diluncurkan saat acara Indonesia Millennial Summit (IMS) 2021 mendatang.
Pak Chatib sendiri melihat ekonomi Indonesia di periode pandemik COVID-19 ini seperti apa?
Begini, kalau ekonomi terdampak itu pasti tidak terhindarkan. Jadi kita juga jangan punya ilusi bahwa mau tumbuh di dalam situasi ini. Itu hampir nggak mungkin, saya nggak melihat. Yang terjadi itu pasti terjadi penurunan pertumbuhan. Kenapa? Karena kan begini, mau nggak mau di dalam pandemi itu orang harus menerapkan berbagai protokol kesehatan. Mulai dari yang ekstrem, yang namanya complete lockdown, kayak dilakukan di beberapa negara, di mana orang tinggal di rumah kayak yang terjadi di China, di Wuhan, sampai yang misalnya relatif bebas seperti Sweden gitu.
Tetapi even di Sweden, orang pakai masker, sebagian tinggal di rumah. Jadi mau tidak mau aktivitas ekonominya nggak akan bisa beroperasi 100 persen. Mulai dari yang ekstrem dengan lockdown gak bisa, kemudian sampai dengan yang bisa bebas tapi juga orang mengurangi aktivitas, even datanya di Sweden juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonominya drop.
Jadi baik di negara yang menerapkan lockdown, ataupun yang terbuka itu kena. Kenapa? Karena esensinya aktivitas ekonomi itu kan sangat tergantung pada pasar. Pasar itu tempat orang jual beli barang dan jasa baik secara fisik kita ketemu, atau secara virtual kayak kita ngomong gini. Marketnya ada gitu.
Nah, di dalam kondisi pandemik, orang menghindarkan yang namanya physical, makanya aktivitasnya bergeser ke semua itu menjadi online. Masalahnya, tidak semua aktivitas ekonomi itu bisa di-cover dalam online. Jadi bagian yang physical, pasti drop, karena itu nggak terhindarkan.
Jadi kita bicara mengenai Indonesia, yang tadi angka-angka kamu tuh ya. Nah itu satu, saya mau bilang itu tidak terhindarkan. Sehingga isunya itu bukan soal resesi atau enggak, karena itu sesuatu yang pasti terjadi. Dan nggak ada yang salah dengan negara yang mengalami resesi, di manapun terjadi gitu. Jadi kita nggak perlu khawatir sekali dengan 'wah ini resesi atau enggak'. Semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Yang harus dipikirkan itu adalah ketika pertumbuhan ekonominya drop, mau minus, atau mau dari positif tinggi jadi sedikit di atas not itu adalah langkah mitigasinya apa. Jadi isunya itu lebih lari ke sana kalau menurut saya gitu.
Nah, Indonesia saya setuju bahwa kelihatannya we already hit the bottom itu quart ke II itu minus 5,3 jadi quart ke III mungkin masih di teritori negatif tapi tidak sedalam triwulan II, likuiditasnya nunjukin bahwa ada pemulihan sedikit tapi masih lemah gitu. Nah di dalam kondisi ini apa yang bisa dilakukan, ini yang mulai bicara mengenai perlindungan sosial ya.
Kalau menurut saya, yang paling penting sebetulnya adalah memastikan bahwa pandeminya itu under control, pandeminya itu harus bisa dikontrol. Kemudian perlindungan sosial, kemudian juga support bisnis. Kenapa saya bilang pandeminya itu harus bisa dikontrol? Saya kasih contoh misalnya gini, selama pandeminya masih ada, itu kan kita harus menerapkan protokol kesehatan dong, gak mungkin orang gak usah pakai masker, jumlahnya gak dibatasin, ya naik lagilah, orang nanti yang meninggal bisa banyak.
Jadi suka gak suka pasti, dan di Indonesia juga dilakukan. Nah kalau protokol kesehatan dilakukan, itu implikasinya apa? Gak mungkin aktivitas ekonomi berjalan normal. Misalnya restoran, katakanlah misalnya dibuka. Restoran kalau dibuka nggak boleh 100 persen orang masuk kan. Harus ada distancing, duduknya nggak boleh nempel misalnya. Jadi mungkin meja yang tadinya isi 6, jadi isi 3. Ini kan 50 persen.
Nah sekarang bayangkan, kamu bikin restoran, biaya kamu tetap, tapi yang mengunjungi hanya boleh 50 persen. Lama-lama kan kamu nggak kuat. Kamu hanya bisa bayar biaya variabel aja, tapi fixed cost-nya sewa gedung, dan lain-lain sama kan. Listrik, terus yang kayak gitu-gitu sama, itu mau nggak mau.
Jadi mall misalnya, kalau yang mengunjungi hanya 50 persen lama-lama dia nggak kuat. Itu yang saya sebut sebagai risiko munculnya yang disebut sebagai zombie companies. Zombie companies tuh apa? Dia nggak mati tapi dia juga nggak hidup, tapi dia bisa, tetep hidup tapi dia gak ngambil untung, dia cuma bayar utangnya aja gitu. Jadi kalau di dalam kondisi kayak gitu, ekonominya tetep jalan tapi dia nggak pulih. Makanya saya bilang kalau pandeminya gak under control, itu repot.
Jadi kita memang mau nggak mau mesti menyelesaikan soal kesehatan ini. Nah, selama nunggu itu bantuan sosial harus diberikan. Kalau enggak, orang dari mana dia hidupnya kalau aktivitas ekonominya nggak jalan? Sama support seperti UKM, kreditnya, kasih peminjaman kredit. Sebenarnya yang dilakukan pemerintah itu on track, tinggal implementasi aja.