Ilustrasi Hacker (IDN Times/Mardya Shakti)
Analis Group-IB DRP juga mencatat upaya penipuan yang sama dilakukan oleh penjahat siber melalui media sosial lainnya seperti Facebook. Namun, jumlah kasus tersebut tidak signifikan dibandingkan Twitter.
"Lebih sedikit lebih baik, ini adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh para penipu," kata Kepala Perlindungan Risiko Digital Group-IB di APAC, Ilia Rozhnov.
Alih alih mencoba menjebak calon korban mereka untuk masuk ke website pihak ketiga, kejahatan siber ini langsung menghubungi/medatangi sumber keuntungan mereka tersebut (korban).
"Kampanye penipuan khusus ini konsisten dengan tren berkelanjutan ke arah penggunaan penipuan multistage, yang membantu penipu merayu korbannya. Mereka sukses menjalankan misinya lantaran kurangnya pemantauan yang komprehensif oleh lembaga keuangan," ucap Ilia.
Sebagai akibat dari serangan tersebut, bank berisiko kehilangan nasabah mereka serta melanggar kepercayaan mereka. Untuk menghindari hal ini, para lembaga keuangan harus melakukan pemantauan internet sepanjang waktu untuk segera mendeteksi kasus pelanggaran hukum atas merek (dagang) mereka.
Terlepas dari fakta bahwa industri perbankan adalah salah satu yang paling terlindungi dari aksi kejahatan siber, namun mereka kerap luput dari pelanggaran terhadap merek tertentu. Para perbankan cenderung fokus memantau pelanggaran seperti halaman dan domain yang terdapat phishing, namun mengabaikan aksi penipuan lainnya.