BPJamsostek: Solusi Perlindungan Diri dari Musibah Tak Terduga

Jakarta, IDN Times – Kejadian tragis menimpa Melinda pada Maret 2021. Di tengah perjalanannya menuju kantor yang berlokasi di Legok, Kabupaten Tangerang, perempuan berusia 32 tahun itu ditabrak pengendara motor berkecepatan tinggi. Motornya terpental. Melinda jatuh dalam keadaan duduk.
“Itu kejadian jam 07.00 (pagi) kurang, pas mau ke kantor dari Serpong. Pelakunya itu gak tahu kalau saya mau berhenti, karena di depan ada mobil. Kemudian saya jatuh dan pas saya coba bangun sendiri, ternyata gak bisa. Akhirnya digotong sama orang-orang,” kata Melinda kepada IDN Times.
Tanpa berpikir panjang, setelah menghubungi anggota keluarga, Melinda segera menuju fasilitas kesehatan (Faskes) 1 yang telah ditetapkan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Karena harus rontgen dan klinik Faskes 1 tidak mampu melakukannya, Melinda kemudian dirujuk ke Rumah Indonesia Sehat (RIS) di Serpong.
Setibanya di RIS, Melinda segera memperoleh tindakan, mulai dari disuntik hingga tes darah. Tidak lama berselang, Melinda dikabari bahwa perawatan yang ia peroleh ternyata tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Melinda segera mengeluhkan hal itu kepada manajemen kantor tempatnya bekerja.
“Ternyata perawatan saya bisa di-cover tapi pakai BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek), tapi harus di rumah sakit (RS) rujukan. Berhubung RIS bukan RS rujukan, akhirnya saya pindah ke RS Medika. Tindakan di RIS akhirnya bayar sendiri tuh,” ujar perempuan yang bekerja sebagai admin di kantornya.
Pada saat yang sama, Melinda juga diminta untuk mempersiapkan dokumen-dokumen lainnya, termasuk surat keterangan kecelakaan dari kepolisian, surat izin mengemudi (SIM), dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Surat polisi itu yang buat adek saya. Di kantor polisi dia ditanya jalur berangkat kantor, kejadian seperti apa, luka apa saja, sama kelengkapan SIM dan KTP,” kata Melinda.
Pukul 11.00 WIB, Melinda sudah tiba di RS Medika dan surat keterangan kecelakaan sudah di tangan. Melinda dimintai kelengkapan dokumen lainnya, termasuk kartu BPJamsostek, surat keterangan aktif bekerja, surat absen, dan mengisi kronologi kejadian. Beberapa jam berselang, Melinda langsung mendapat tindakan dan pada sore harinya dia sudah memperoleh kamar.
Besoknya, Melinda baru bertemu dengan dokter tulang dan saraf. Berdasarkan hasil rontgen, dokter tulang mengatakan bahwa tulang belakang Melinda bergeser. Sementara, dokter saraf mengusulkan supaya otot Melinda diperbaiki dulu sebelum mendapat tindakan lainnya.
Sempat terjadi diskusi antara Melinda, pihak BPJamsostek, dengan dokter yang menanganinya. Kala itu, BPJamsostek mengusulkan Melinda dioperasi. Tetapi, dokter tulang menyampaikan penanganannya cukup dengan gips tulang, diberi obat, dan rutin mengikuti fisioterapi.
“Akhirnya gak jadi operasi,” imbuh Melinda.
Melinda menghabiskan waktu enam hari di RS sampai diizinkan pulang. Biaya perawatan yang dibebankan kepadanya adalah Rp18 juta, termasuk biaya fisioterapi, obat, dan korset untuk gips tulang. Kendati begitu, Melinda bisa bernapas lega karena uang yang keluar dari dompetnya bahkan tidak sampai Rp10 ribu.
“Semua ditanggung BPJamsostek, dan yang saya bayar itu cuma Rp8 ribu,” katanya.
Kontrol dan fisioterapi rutin
Pulang ke rumah dengan obat-obatan dan korset tidak serta-merta menghilangkan derita Melinda. Dia masih harus pulang-pergi rumah sakit untuk kontrol rutin. Sepekan kemudian, pada kontrol pertamanya, Melinda kembali merasakan manfaat sebagai peserta BPJamsostek.
“Saat itu saya baru tahu kalau ada perbedaan antrean pasien jaminan, pasien bayar pribadi, dan BPJS Kesehatan. Kalau BPJamsostek itu masuknya yang jaminan. Nah, perbedaannya pas mau ambil obat. Saya ke apotek, kasih kwitansi, terus langsung dipanggil. Itu banyak yang udah antre di BPJS Kesehatan belum dipanggil juga,” ungkap Melinda.
“Saya langsung dilihatin gitu sama pasien lain. Udah gitu mereka tahu lagi kalau saya obatnya free, gak bayar,” sambung dia.
Biaya obat yang diresepkan kepada Melinda adalah Rp1,8 juta untuk dosis satu bulan. Melinda juga harus menebus obat dengan harga bervariasi setiap bulannya, mulai dari Rp1,2 juta hingga Rp1,8 juta.
Lagi-lagi, Melinda merasakan manfaat BPJamsostek pada bulan ketiga. Kala itu, dia mengeluh karena rasa sakit di tulang belakangnya tak kunjung membaik. Alhasil, dokter saraf merujuknya ke dokter bedah saraf kemudian Melinda diminta untuk menjalani magnetic resonance imaging (MRI).
Berdasarkan hasil MRI, tulang belakang Melinda ternyata telah bergeser dan gepeng. Dokter mengatakan bahwa operasi adalah tindakan yang sulit, karena pembedahan akan dilakukan di daerah vital. Opsi memblok tulang, yang sempat disarankan oleh dokter tulang, tidak disarankan karena hanya menghilangkan rasa sakit selama beberapa bulan.
“Kalau diblok percuma, paling bulan kelima kambuh lagi. Akhirnya saran dari dokter adalah fisioterapi yang rajin, rutin berenang, sama turunin berat badan,” ujar Melinda.
“Nah, itu saya inget banget, biaya MRI itu Rp2 juta dan lagi-lagi saya free, gak bayar,” tambahnya.
Terapi rutin yang dijalani Melinda juga tidak murah. Sejak keluar dari rumah sakit, setiap minggunya dia harus menjalani tiga kali fisioterapi setiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Biaya yang seharusnya dibayar Melinda untuk setiap pertemuan adalah Rp540 ribu. Pola terapi tiga kali seminggu rutin ia jalani sampai bulan keenam, yang berarti setidaknya Melinda telah menjalani 72 kali terapi dengan estimasi biaya sekitar Rp38,8 juta.
Bila seluruh biaya perawatan dikalkulasikan dari Maret sampai November 2021, termasuk biaya rumah sakit, obat, korset, MRI, dan fisioterapi, sedikitnya Melinda harus merogoh kocek hingga Rp72,4 juta.
“Semua itu saya jalanin secara gratis, termasuk obat yang harus ditebus setiap bulan,” tegas Melinda.