Infografis 4 program BPJamsostek (IDN Times/Aditya Pratama)
Kejadian yang menimpa Melinda dan Pika menjadi contoh betapa BPJamsostek memiliki arti penting sebagai jaring pengaman sosial. Keduanya merupakan peserta BPJamsostek yang menerima manfaat dari program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Sebagai informasi, JKK merupakan salah satu program BPJamsostek yang bertujuan melindungi peserta dari kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja. JKK melindungi peserta ketika melakukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan begitu pula sebaliknya.
“JKK juga meng-cover ketika ada kejadian di lokasi pekerjaan, misal di lokasi pekerjaan tiba-tiba terjatuh, terpotong, atau terserempet,” kata Ahmad Bastomi, selah satu pegawai BPJamsostek KCP Probolinggo, ketika mensosialisasikan manfaat BPJamsostek kepada pegawai PT. Mitra Energi Sembilan.
Ada tiga manfaat yang akan diterima oleh peserta program JKK. Pertama, biaya pengobatan akan ditanggung sampai sembuh berdasarkan hasil diagnosis dokter. Manfaat ini selaras dengan pengakuan Melinda, yang diinformasikan bahwa BPJamsostek akan terus menanggung biaya pengobatannya sampai tidak lagi merasakan sakit.
“Pelayanan yang diberikan mengacu pada tarif kelas I RS pemerintah,” tambah Ahmad.
Kedua, biaya transportasi dari lokasi kejadian menuju rumah sakit rujukan juga ditanggung BPJamsostek. Untuk perjalanan darat biaya maksimalnya adalah Rp5 juta, untuk laut maksimalnya Rp2 juta, dan untuk udara maksimalnya Rp10 juta.
Terakhir, jika diagnosis dokter menyatakan peserta harus beristirahat penuh dan tidak bisa bekerja, maka selama masa istirahat BPJamsostek menanggung gaji peserta tersebut.
“Untuk enam bulan pertama ditanggung 100 persen upah, enam enam bulan kedua 100 persen upah, dan enam bulan ketiga 50 persen upah. Nah ini sesuai dengan upah yang dilaporkan ke BPJamsostek,” ulas Ahmad.
Bagaimana jika kecelakaan kerja menyebabkan peserta mengalami kecacatan atau meninggal dunia?
“Kalau terjadi cacat, peserta akan diberi santunan. Kalau meninggal akan diberikan santunan kepada ahli waris sampai 48 kali gaji. Jadi kalau gajinya per bulan Rp4 juta, maka ahli warisnya menerima Rp192 juta,” terang Ahmad.
Di samping itu, sesuai aturan terbaru yang tertuang dalam PP No 82 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program JKK dan JKM, BPJamsostek juga akan memberikan beasiswa kepada dua anak dari peserta yang meninggal dunia mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Adapun nominal maksimal beasiswanya adalah Rp174 juta.
Penting untuk mempertanyakan berapa biaya yang harus dibayarkan supaya kita bisa menerima segudang manfaat BPJamsostek.
Direktur Kepesertaan BPJamsostek Zainuddin menjelaskan, iuran yang dibayarkan pekerja sektor informal (bukan penerima upah) untuk dua program JKK dan JKM (Jaminan Kematian) mulai dari Rp16.800 dengan dasar upah Rp1 juta. Seandainya mereka tertarik untuk mengikuti program ketiga atau Jaminan Hari Tua, maka mereka cukup menambah Rp20 ribu, yang berarti total iurannya adalah Rp36.800 per bulan.
Jika dibandingkan dengan iuran BPJS Kesehatan kelas III yang senilai Rp35 ribu per bulan, maka manfaat yang diberikan BPJamsostek jauh lebih besar. Pasalnya, selain menanggung biaya kuratif atau pengobatan, BPJamsostek juga menanggung dampak ekonomi dari kecelakaan kerja.
Direktur Utama BPJamsostek Anggoro Eko Cahyo berpose di sela perkenalan jajaran direksi periode 2021-2026 di Plaza BP Jamsostek, di Jakarta, Selasa (23/2/2021). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/hp)
Sayangnya, di tengah besarnya manfaat BPJamsostek, kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai peserta masih sangat minim.
Direktur Utama BPJamsostek, Anggoro Eko Cahyo, menyampaikan bahwa per Oktober 2021 hanya 3,04 juta peserta aktif dari segmen pekerja informal. Padahal, ada sekitar 43,64 juta pekerja informal yang berpotensi menjadi peserta BPJamsostek. Dengan kata lain, baru 7 persen dari total potensi yang sudah terdaftar sebagai peserta.
“Tantangannya bagaimana kita bisa mengedukasi para pekerja informal untuk bisa ikut jaminan sosial tenaga kerja,” kata Anggoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI pada 15 November 2021.
Adapun jumlah peserta aktif dari segmen penerima upah per Oktober 2021 adalah 20,44 juta atau 49 persen dari total 42,02 juta pekerja sektor formal. Sementara, untuk peserta segmen jasa konstruksi adalah 7,16 juta atau 87 persen dari potensi 8,19 juta pekerja. Total peserta aktif BPJamsostek hingga Oktober 2021 adalah 30,64 juta orang.
Menurut Anggoro, rendahnya jumlah peserta aktif dari sektor informal disebabkan persepsi yang tidak melihat iuran kepesertaan sebagai jaring pengaman sosial, melainkan sebagai beban yang menguras pendapatan setiap bulannya. Bagi sektor informal hal ini menjadi masalah karena besaran gaji yang mereka terima setiap bulannya tidak pasti.
“Ini challenge kita untuk bisa memastikan mereka sadar bahwa mereka perlu jaminan sosial. Kita selalu ingatkan pada setiap sosialisasi bahwa ini adalah hak konstitusi mereka, untuk dilindungi negara,” tutur Anggoro, seraya mengatakan target cakupan kepesertaan aktif pada 2026 mencapai 65 persen.
Dalam laporan BPJamsostek Tahun 2020, pandemik COVID-19 melahirkan dua masalah dalam meningkatkan kepesertaan. Pertama, program sosialisasi dan edukasi semakin sulit sebab hambatan pertemuan fisik. Kedua, jumlah pekerja yang putus kerja meningkat, yang berarti banyak pekerja sektor formal menarik tabungan dalam JHT untuk memenuhi kebutuhan selama belum memperoleh pekerjaan baru.
Anggoro memaparkan, pada Desember 2019 angka peserta aktif BPJamsostek adalah 34 juta. Setahun berselang di bulan yang sama, angkanya menjadi 29 juta. Kemudian, pada Maret jumlahnya turun drastis hingga 27,7 peserta.
“(Sekarang) sudah mulai naik kembali di atas 30 juta. Mudah-mudahan ini jadi pertanda baik bahwa sudah makin banyak pekerja yang kembali aktif bekerja,” terang Anggoro.
Permasalahan lain yang dihadapi BPJamsostek adalah mendorong semua pesertanya menjadi peserta aktif. Pada 2020, total pekerja yang terlindungi BPJS adalah 50.696.599, namun sebanyak 20.716.517 tercatat sebagai peserta non-aktif.
Status berubah menjadi non-aktif karena peserta terlambat membayar iuran atau peserta tidak lagi bekerja di perusahaan, baik diputus hubungan kerjanya (PHK) atau mengundurkan diri. Dua kendala itu mencuat di tengah pandemik karena kesulitan ekonomi yang menghimpit peserta, bisa jadi karena PHK atau pendapatannya menurun.