Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi portofolio investasi (freepik.com)
Ilustrasi portofolio investasi (freepik.com)

Intinya sih...

  • Investor bergaji tinggi sering gagal karena portofolio terlalu rumit

  • Terlalu bergantung pada "ahli" dalam investasi bisa menggerus hasil

  • Mentalitas "saya bisa menanggung kerugian" dan terlalu sering jual beli menjadi kesalahan umum investor bergaji tinggi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di tengah maraknya skema cepat kaya yang penuh spekulasi, Tae Kim hadir sebagai sosok yang menawarkan pendekatan berbeda. Melalui kanal YouTube Financial Tortoise, ia menekankan pentingnya kesabaran, strategi sederhana, dan konsistensi dalam membangun kekayaan. Alih-alih mengejar keuntungan instan, Kim mendorong investor untuk menempuh jalan yang aman, perlahan, namun berkelanjutan.

Banyak orang beranggapan bahwa penghasilan tinggi otomatis membuat seseorang lebih piawai dalam berinvestasi. Logikanya, mereka memiliki akses ke pengetahuan, peluang, dan sumber daya yang lebih luas. Namun menurut Kim, anggapan ini keliru. Ia bahkan secara blak-blakan menyebut bahwa “orang dengan gaji tinggi justru buruk dalam berinvestasi.”

Dalam salah satu videonya, Kim mengungkap data menarik. Selama 30 tahun terakhir, indeks S&P 500 mencatatkan imbal hasil rata-rata sekitar 10% per tahun. Namun, investor rata-rata hanya memperoleh sekitar 5,5 persen. Lebih mengejutkan lagi, investor berpenghasilan tinggi justru tertinggal hingga 6%, berdasarkan riset DALBAR.

Dilansir GOBankingRates, Kim mengidentifikasi lima kesalahan utama yang kerap dilakukan oleh para pencari nafkah besar.

1. Portofolio terlalu rumit

Ilustrasi portofolio investasi (freepik.com)

Mengutip laporan CNBC, investor yang menerapkan strategi buy and hold secara konsisten — bahkan mereka yang sudah meninggal dunia dan tidak aktif bertransaksi — sering kali meraih hasil lebih baik dibandingkan trader aktif. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan investor bergaji tinggi untuk membuat portofolio yang terlalu kompleks.

Orang-orang sukses terbiasa memecahkan masalah rumit, dan pola pikir ini sering terbawa ke dunia investasi. Kim mencatat bahwa investor dengan gelar MBA atau PhD cenderung memiliki lebih banyak aset dan lebih sering melakukan transaksi. Keahlian di satu bidang, sayangnya, tidak selalu bisa diterjemahkan langsung ke bidang keuangan.

2. Terlalu bergantung pada “Ahli”

Ilustrasi konsultasi keuangan (freepik.com)

Mengandalkan profesional untuk mengurus pajak, kendaraan, atau urusan administratif memang memudahkan hidup. Namun, dalam investasi, ketergantungan berlebihan pada penasihat keuangan bisa menggerus hasil.

Berdasarkan studi S&P tahun 2024, sekitar 90% manajer dana saham aktif dan 81% manajer dana obligasi aktif gagal mengalahkan indeks acuannya dalam periode 10 tahun. Biaya yang tinggi dan kinerja yang mengecewakan membuat banyak investor justru lebih diuntungkan jika meluangkan waktu untuk belajar dan berinvestasi secara mandiri.

3. Mentalitas “Saya bisa menanggung kerugian”

Ilustrasi investasi (freepik.com)

Penghasilan besar memberikan bantalan finansial yang tidak dimiliki semua orang. Sayangnya, kondisi ini sering memicu sikap ceroboh.

“Bagi saya, bantalan ini menciptakan mentalitas kasino,” ujar Kim. Investor jadi tidak terlalu peduli dengan kerugian karena merasa gaji berikutnya bisa menutupinya. Akibatnya, risiko diambil tanpa perhitungan matang.

4. Terlalu sering jual beli

Ilustrasi investasi (freepik.com)

Investor yang disiplin, mampu mengendalikan emosi, dan setia pada strategi jangka panjang umumnya memiliki peluang lebih besar untuk mengungguli pasar. Namun, justru di sinilah banyak investor bergaji tinggi tersandung.

“Para high achiever sering menyamakan aktivitas dengan produktivitas,” kata Kim. Dalam dunia investasi, terlalu sering melakukan transaksi justru bisa menjadi bumerang. Ia mengutip ekonom peraih Nobel, Paul Samuelson, yang mengatakan bahwa investasi seharusnya terasa membosankan — seperti menonton cat mengering. Jika menginginkan sensasi, lebih baik pergi ke kasino.

5. Terjebak FOMO finansial

Ilustrasi seorang pria memerhatikan grafik finansial (freepik.com)

Keputusan impulsif akibat takut ketinggalan tren — seperti kripto, SPAC, atau saham meme — bisa menggerus potensi keuntungan dan tabungan dalam waktu singkat. Menurut Kim, banyak “peluang panas” ini didorong oleh emosi, bukan pemahaman yang solid.

“Perbandingan sosial mendorong perilaku pengambilan risiko, dan ini sangat berbahaya dalam investasi,” jelasnya.

Menghasilkan pendapatan tinggi memang merupakan langkah awal yang penting dalam membangun kekayaan jangka panjang. Namun, tanpa strategi investasi yang tepat dan disiplin, gaji besar saja tidak cukup. Menghindari kesalahan-kesalahan umum ini dapat membantu menjaga masa depan finansial tetap aman dan berkelanjutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team