Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan ada potensi kerugian hingga Rp400 miliar per tahun dari produksi bijih nikel. Penyebabnya adalah kisruh antara penambang nikel dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) terkait harga patokan mineral (HPM).
Kisruh itu awalnya bersumber dari perbedaan penghitungan kandungan nikel antara penambang dengan surveyor dari pemilik pabrik pemurnian (smelter).
Faisal mengatakan kasus tersebut telah terjadi sejak 2020 di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dia mengatakan penambang menetapkan kandungan nikel sebesar 1,87 persen, sementara surveyor menetapkan kandungannya hanya 1,5 persen.