Bogor, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 83/PUU-XXII/2024 yang menyasar Pasal 251 KUHD menimbulkan keriuhan dalam industri asuransi jiwa. Putusan ini menuntut adanya perubahan dalam cara industri merancang polis, khususnya pada klausul pembatalan dan disclosure data medis.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan kedua pihak atau melalui putusan pengadilan. Ini menegaskan pentingnya asas iktikad baik dan kesetaraan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis.
"Prinsip utmost good faith tidak hanya berlaku bagi tertanggung, tapi juga bagi penanggung, termasuk agen dan pialang,” ujar Kepala Departemen Legal Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hasinah Jusuf dalam forum Media Gathering AAJI 2025 di Bogor, Rabu (25/6/2025).
Meski demikian, dia menegaskan bahwa data riil menunjukkan pembatalan polis kurang dari 1 persen dari total klaim yang diajukan selama periode 2022–2024. Putusan MK tersebut juga membuka ruang koreksi penting terhadap praktik pembatalan klaim asuransi.
"Data AAJI menunjukkan bahwa isu ini tidak separah yang dikhawatirkan. Yang paling mendesak kini adalah merumuskan regulasi lanjutan yang menjamin keadilan dan keseimbangan hak-hak antara perusahaan dan pemegang polis," ujarnya.