Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tidak punya uang (pexels.com/@olly)
Ilustrasi tidak punya uang (pexels.com/@olly)

Intinya sih...

  • Hemat secara strategis berbeda dengan memilih harga terendah.

  • Hitung biaya per penggunaan untuk menentukan nilai sebenarnya

  • Fokuskan negosiasi pada pengeluaran besar daripada kebutuhan harian.

  • Menggunakan profesional bisa lebih murah dalam jangka panjang.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di tengah derasnya media sosial dan budaya pop yang mendorong orang untuk terus belanja, muncul tren lain yang tak kalah kuat: hidup super hemat. Banyak influencer dan pakar keuangan mempromosikan frugal living ekstrem, bahkan sering terdengar seperti nasihat klasik dari orang tua atau kakek-nenek tentang cara mengelola uang.

Namun, tidak semua saran hidup hemat benar-benar membantu membangun kekayaan. Jika diterapkan secara keliru atau berlebihan, sikap terlalu pelit justru bisa membuang waktu, menguras energi, dan bahkan membuat pengeluaran membengkak dalam jangka panjang.

Untuk meluruskan hal ini, GOBankingRates berbincang dengan Gloria Garcia Cisneros, perencana keuangan bersertifikat dan wealth manager di LourdMurray, serta Riley Saunders, CFP dan penasihat keuangan di Cassady & Company Inc. Mereka mengungkap praktik frugal yang sering disalahartikan, sekaligus strategi yang lebih efektif untuk menghemat dan menumbuhkan uang.

1. Membeli barang termurah tanpa memikirkan kualitas

Ilustrasi belanja bumbu dapur (freepik.com)

Membeli produk paling murah memang terasa seperti keputusan cerdas. Namun menurut Cisneros, ada perbedaan besar antara hemat secara strategis dan sekadar memilih harga terendah. Saat kualitas dikorbankan demi harga murah, kamu justru berisiko mengeluarkan biaya lebih besar karena harus sering mengganti barang.

“Mengganti barang murah setiap tahun sering kali lebih mahal dibanding membeli satu produk berkualitas yang tahan lama,” jelasnya.

Ia kerap melihat hal ini terjadi pada peralatan rumah tangga, peralatan dapur, hingga gadget. Contoh paling umum adalah membeli alat masak murah yang cepat tergores dan rusak. Dalam hitungan bulan, kamu harus membeli lagi—dan lagi.

Solusi yang lebih tepat:

Cisneros menyarankan untuk menghitung biaya per penggunaan (cost per use). Barang seharga Rp2 juta yang bertahan lima tahun bisa jauh lebih murah dibanding barang Rp500 ribu yang harus diganti setiap tahun.

“Kualitas adalah strategi keuangan,” tegasnya.

2. Berburu diskon secara berlebihan

Ilustrasi diskon (freepik.com)

Berburu promo memang menyenangkan. Tapi menurut Cisneros, ada batas wajar. Menghabiskan berjam-jam berkeliling toko demi menghemat sedikit uang bisa berujung pada biaya bensin, keausan kendaraan, dan kelelahan mental yang lebih besar dari penghematannya.

“Waktu dan energi yang dihabiskan sering kali tidak sebanding,” ujarnya.

Kondisi ini bahkan dapat memicu decision fatigue dan hubungan yang tidak sehat dengan uang.

Solusi yang lebih tepat:

Fokuskan usaha negosiasi dan pencarian harga pada pengeluaran besar. Untuk kebutuhan harian, lebih baik alihkan waktu kamu untuk:

  • Menegosiasikan tagihan rutin

  • Meninjau asuransi tahunan

  • Menghapus langganan yang terlupakan

  • Mengoptimalkan manfaat dari tempat kerja

“Hemat itu penting, tapi waktu dan kesehatan mental juga bernilai,” kata Cisneros.

3. DIY barang tanpa pertimbangan risiko

Melakukan semuanya sendiri terdengar efisien, tetapi tidak selalu lebih murah. Kesalahan kecil saat mengecat dinding mungkin tidak masalah. Namun kesalahan dalam pajak, perencanaan warisan, asuransi, atau perbaikan mesin mobil bisa berujung mahal.

“Saya sering melihat orang mencoba DIY demi hemat, lalu menghabiskan lebih banyak uang untuk memperbaiki kesalahan,” kata Cisneros.

Solusi yang lebih tepat:

“Dalam banyak kasus, membayar profesional justru lebih murah dalam jangka panjang,” ujarnya.

Ada alasan mengapa konsultan pajak, penasihat keuangan, dan kontraktor profesional ada.

Ingat pepatah: ingin dikerjakan benar, atau ingin dikerjakan dua kali?

4. Menyiksa diri hingga berujung burnout

Ilustrasi ketakutan dalam hal finansial (freepik.com)

Banyak orang percaya bahwa menahan diri sepenuhnya adalah jalan tercepat menuju kaya. Faktanya, pola ini sering berakhir pada kelelahan dan belanja impulsif.

“Frugal ekstrem sering lahir dari rasa takut,” jelas Cisneros.

Pembatasan terus-menerus dapat memicu siklus ‘saya sudah terlalu hemat, sekarang pantas memanjakan diri’ — yang justru merusak keuangan.

Solusi yang lebih tepat:

Ingat bahwa kamu tetap berhak menikmati hidup hari ini.

“Kekayaan dibangun lewat keseimbangan,” kata Cisneros.

“Belanja dengan niat, menabung otomatis, dan berinvestasi secara konsisten. Lebih efektif meningkatkan pendapatan daripada menghemat secara ekstrem.”

Ia menambahkan bahwa banyak orang sebenarnya sudah disiplin, tetapi menerapkan disiplin itu di tempat yang salah.

Hidup hemat seharusnya menjadi alat untuk membangun kekayaan, bukan sumber stres baru. Dengan fokus pada kualitas, efisiensi waktu, keseimbangan hidup, dan keputusan finansial yang tepat sasaran, kamu bisa menghemat uang tanpa mengorbankan kenyamanan, hubungan sosial, dan kesehatan mental.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team