Kita tak sedang jatuh cinta.
Kita hanya dua tubuh resah
yang tak tahu caranya tenang,
lalu saling mendekat
untuk membuktikan
bahwa luka pun butuh teman.
Aku menghunus diriku
setiap kali kau datang—
bukan untuk melukai,
hanya untuk mengingatkan
bahwa bahagia bisa berbahaya
jika datang dari seseorang
yang tak pernah benar-benar tinggal.
Kau menyalakan lampu
di ruangan penuh retak,
lalu menyuruhku menari,
meski tahu kakiku berdarah
dan musiknya tak pernah henti
menyakitkan.
Namun aku tetap di sana.
Bukan karena cinta,
tapi karena takut
tak ada lagi yang akan memintaku tinggal
dengan luka sebanyak ini.
Dan ketika cahaya padam,
kita masih berdansa
di atas pecahan lampu
yang kita pecahkan sendiri.
Tak ada yang berhenti.
Tak ada yang benar-benar ingin sembuh.