Daun-daun gugur, seperti surat tak terkirim,
jatuh ke tanah, disapu angin yang dingin.
Oktober membuka pintu sunyi,
dengan aroma waktu yang meluruh perlahan.
Langkah musim menua di jalanan,
serupa kenangan yang rapuh di genggaman.
Setiap desir, adalah bisikan perpisahan,
mengajak jiwa belajar melupakan.
Langit menguning, separuh ragu,
menyimpan cerita yang tak lagi baru.
Di sana, bayanganmu masih berdiri,
meski tubuhnya telah lama pergi.
Ranting merunduk, menahan tangis,
membiarkan waktu menorehkan garis.
Oktober adalah cermin yang retak,
tempat kita melihat masa yang tak kembali.
Aku berjalan di antara daun kering,
menghitung sisa-sisa mimpi yang hilang.
Seakan waktu sedang berunding,
antara tinggal atau menghilang.
Dan pada akhirnya,
Oktober hanya meninggalkan suara angin.
Menyapu hati yang meranggas,
mengajarkan: semua yang indah pun bisa pergi.