Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
unsplash.com

Menjadi seorang perantauan itu mungkin sudah banyak dilalui oleh pemuda saat ini. Merantau di ibukota atau merantau di kota-kota besar lain di Indonesia, semisal Surabya, Medan, Bandung, Makassar dan lainnya. Tetapi Perantuan dengan kondisi menjadi pengangguran. Banyak hutang dan disana-sini ditagih? Mungkin aku salah satu dari sedikit orang yang tidak beruntung itu.

Sebulan lalu di kamar kostku di kota Surabaya ini, aku kedatangan tamu. Tamunya pemilik kamar kost. Jika hari ini aku belum bisa melunasi tiga bulan sewa kamar kostku, maka besok pagi kamar ini sudah harus bersih. Yah, mungkin karena aku tidak tahu waktu, jangankan besok pagi, sore ini pun kamar kostku sudah bersih. Barang-barangku sudah kukemas rapi. Setidaknya itu menjawab permintaan dari pemilik kost. Walau pertanyaan berikutnya, kemana akan kubawa tubuhku? Tidak bisa aku jawab.

Entahlah besok pagi aku harus kemana. Mungkin jika minggu lalu aku masih bisa bekerja di perusahaan itu, aku masih cukup mampu untuk setidaknya menaruh barang-barangku ke gudang perusahaan dan tinggal di sana beberapa waktu. Sayangnya itu tidak mungkin. Menjadi pengangguran tanpa pesangon. Jaman sekarang mana ada pesangon dari system outsourcing? Tidak bakalan ada. Tabungan pun habis untuk sedikit menyempitkan hutang. Selain besok aku tidak tahu harus kemana. Kali ini aku sadar, besok juga aku tidak bisa menjawab apa yang besok bisa kumakan.

Di dompet hanya sisa sepuluh ribu rupiah. Itu pun dalam pecahan melati semua. Setidaknya aku bisa bersyukur. Dengan melati itu, umurku masih bisa bertahan semalam ini. Karena seharian aku sudah tidak bisa makan. Si joko kemarin sama susahnya denganku. Meski uangku hanya sedikit yang dipinjamnya, tetapi itu satu-satunya harapan yang kini bisa kulihat. Hutang seratus ribu setahun lalu. Jika tidak karena terpaksa, mungkin seratus ribu itu sudah kulupakan.

Editorial Team

Tonton lebih seru di