Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pexels.com

Sumirja membuka pintu kamar dengan lesu. Wajahnya begitu pias dan pundaknya begitu luruh. Ia membungkukkan tubuh, menyeberangi kamar kecilnya lalu menjatuhkan tubuhnya yang limbung ke atas kasur kapuk tanpa seprai di pojok ruangan itu. Ia sengaja tidak menyalakan lampu. Ia sedang tak butuh apapun sekarang, bahkan seberkas sinar sekalipun.

Lelaki dua puluh tiga tahun itu menyilangkan satu tangannya ke wajah, menutupi kedua mata. Seakan tindakan itu bisa menghalau ingatan beberapa waktu yang lalu, ketika Rani menyerahkan surat undangan di depan proyek tempat kerjanya. Kepala Sumirja bergerak. Mata nanar lelaki itu mengintip dari balik tangan gempal-gelapnya yang menutupi wajah. Memandang langit-langit kontrakannya, yang di beberapa sudut membentuk sebuah pola akibat rembesan air hujan. Tanpa sadar air mata mengalir dari sudut mata. Sumirja membalikkan tubuh, menenggelamkan wajah legamnya di balik bantal kempes berbau apek.

"Dik Rani, apa yang harus Abang katakan pada orangtua di kampung?" batin Sumirja menggema di ruangan pengap itu.

Wajah gadis itu terbayang-bayang lagi dalam benaknya. Gadis manis yang begitu tega mencampakkannya ketika seorang pekerja konveksi mulai menunjukkan perhatian. Padahal ia sudah menjalin kasih dengan Sumirja. Berkali-kali Sumirja memohon untuk kembali, tapi gadis itu enggan menanggapi. Berkali-kali Sumirja membujuknya dengan segala yang ia punya, tapi gadis penjaga warung tegal itu tetap bergeming. Sumirja frustrasi. Apa yang harus ia katakan pada orangtuanya? Padahal ia sudah mengajak gadis itu pulang ke kampungnya lebaran kemarin. Bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.

Editorial Team

Tonton lebih seru di