Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
flickr.com
flickr.com

Hanya satu hal yang membuat Anwar sampai hari ini terus berkeliling menjadi penulis, mencari sumber untuk menulis, bahkan ketika tak ada lagi penerbit yang minat dengan ceritanya. Bahwa tidak setiap orang bisa dan mampu bersama seribuan karyawan freeport tanpa senjata berada di Mil 26 Timika menghadapi peluru tajam aparat kepolisian karena menuntut kenaikan upah, atau duduk dipingir jalan bersama ibu-ibu petani yang menolak sawah dan tanahnya terkena dampak debu dan kering dari pabrik semen di Rembang.

Tak semua orang bisa bersama berada disemua desa terdampak genangan Waduk Jatigede, tak semua orang faham bagaimana pentingnya sagu ketimbang padi, tak semua orang bisa merasakan dikomuniskan hanya karena menolak menjual tanah.

Padahal, lelaki separuh baya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu bukan tak memiliki masalah dalam hidupnya. Pada keluarganya. Dia sama seperti tetangganya juga, kadang sama sekali tak memiliki beras untuk di tanak atau tak memiliki uang untuk iuran sekolah anaknya. Sama seperti karyawan pabrik yang tinggal diujung gang, kadang perlu berutang sambil menundukan kepala menghindari tatapan pemilik warung. Dia memiliki hidup yang sama seperti orang lainnya, terlebih sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak Sabilla istrinya sakit entah karena apa.

*** 

Minggu, 20 Maret 2016.

Setelah melepaskan sepatu dan kaus kaki yang basah sebab dibawa hujan bersama vespa bututnya, Anwar masuki rumah kontrakan kecil yang dihuni anak dan menantunya. Sebentar singgah untuk meredakan lelahnya setelah perjalanan jauh.

Rumah kecil cat merah bungur dengan empat ruangan - dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga dan juga dapur- itu sudah dua tahun ini ditinggali anak dan menantunya, sering menjadi tempat singgah Anwar ketika ada liputan ke Sumedang. Rumah ini tak sejelek rumah yang sekarang ditinggali di Sukabumi bersama anak bungsu dan istrinya, paling tidak, rumah ini garasi mobil Hisam –adiknya- yang berubah fungsi menjadi rumah.

“Ibu sehat, Pak?” Dandi, menantu Anwar yang  bekerja dikantor cabang asuransi ikut duduk bersamanya beralas ubin setelah istrinya menyodorkan dua cangkir kopi.

“Ibu sehat, sudah mendingan. Sekarang sudah sangat jarang meracau” Anwar bukan tipikal orang yang suka bicara, tapi tak pernah tak menjawab ketika ditanya. Istri Dandi, -Diah, anak Anwar- masuk ke kamar, lalu keluar sudah mengenakan kerudung.

“Diah, mau kemana?” tanya Anwar.

“Kewarung, cari camilan. Sambil belanja sayur.”

“Bapak titip rokok.” Lalu Diah mengiyakan sambil lalu. Sudah paham dengan merek rokok bapaknya.

Seperti sedang berada di pemakaman, Anwar dan Dandi tak banyak bicara. Bahkan tak membicarakan hal apapun. Mereka berdua asyik dengan kopi dan rokoknya masing-masing. Televisi menyala, tak ada yang menonton. Kaku. Lalu Dandi bangkit, berjalan menuju kamarnya, memilih untuk mengganggu tidur anaknya yang masih pulas. Lalu terdengar sayup obrolan Diah dan mertuanya dari ruang depan.

“Bapak sudah dapat pinjaman dari Pak Rusli untuk kontrak rumah? Tinggal di garasi enggak bagus. Terlebih buat kesehatan ibu.” Anwar sejenak terdiam, barangali mencoba berpikir.

“Belum. Bapak belum bilang. Bapak coba tungg dulu kabar royalti buku lama bapak, mungkin masih ada yang laku. Bulan ini biasanya keluar laporan dari penerbit.” Anwar kembali mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya.

“Jangan terlalu banyak ngerokok, Pak. Enggak baik.” Diah bangkit, berjalan menuju kamarnya, lalu kembali ke ruang tamu. “royalti dari buku kan ngga seberapa, mana mungkin cukup buat kontrak rumah. Buku bapak itu enggak ada yang laku.” Diah bukan kasar, ini sudah biasa, mengingatkan bapaknya mengenai royalti buku dari penerbit yang tak seberapa. Dibayarkan tiga bulan sekali.

“Paling tidak, kalaupun tidak akan cukup untuk kontrak rumah, uang yang akan bapak pinjam sama Rusli tidak akan terlalu besar.” Dia mereguk kopi, isi cangkirnya tinggal setengah. “Bapak memang sudah ada niat kontrak rumah. Kasihan ibumu, kasihan adikmu harus tinggal digarasi mobil seperti sekarang.

“Aku bukannya enggak mau bantu, bapak tahu sendiri keadaanku sekarang. Anak masih kecil, sebentar lagi sekolah, aku sedang hamil, kerja Kang Dandi ya tidak bisa dikatakan bergaji besar. Cuma lumayan.”

“Bapak juga tahu. Bapak juga sudah banyak utang sama kalian. Sesekali kalau adikmu yang minta, kau juga sering kasih. Maafkan bapak sering memberatkanmu.” Dia teringat hari sebelumnya, ketika adih Diah, Ratna dia tinggalkan bersama ibunya. Uang didompet yang hanya dua lembar seratus ribu dia bagi. Satu untuk bekalnya, satu untuk bekal Ratna dan ibunya. “Habis dari sini bapak mau ke kantor Suara Media Utama, koran yang sering muat cerpen bapak. Ada beberapa naskah yang mau bapak kasih. Terus ke Bojongsoang, ketemu beberapa orang yang mau bapak wawancara. Untuk bahan novel. Mungkin disana beberapa malam. Nanti terus pulang ke Sukabumi.”

“Bapak makan dulu di sini, nasi sudah matang. Tinggal aku masak sayuran. Sebentar.” Lalu Diah sibuk menyiapkan sayuran yang baru saja dibelinya.

Keadaan keuangan Anwar memang tak bisa dikatakan sedang tak bermasalah. Penghasilnnya hari ini hanya dari bayaran jika cerpennya dimuat, kadang tiga bulan sekali dapat laporan penjualan buku lamanya dari penerbit. Tak seberapa, benar-benar hanya cukup untuk menyambung hidup. Sesekali, sangat jarang, dapat undangan untuk mengisi materi seminar untuk mahasiswa, bayarannya paling banyak lima ratus ribu. Dalam sebulan, jika dihitung-hitung, uang yang bisa dikumpulkan dan buang sekitar satu juta lima ratus ribu, dan itu sudah terhitung paling banyak.

Kebutuhannya sangat banyak. Kebutuhan pokok seperti beras dan lauk pauk yang sedikit layak, uang sekolah anak bungsunya, bahan bakar untuk motornya, dan rokok yang harus selalu ada. Kadang-kadang kopi, jika tak ada bisa diganti teh.

Semua yang terjadi hari ini pada Anwar bukan tanpa mula, semuanya berawal pada satu titik yang pada akhirnya tak bisa lagi dia sesali. Titik yang membuatnya sadar bahwa titik itu adalah kesalahan yang sudah dia ambil. Titik yang pada saat yang bersamaan merupakan titik dimana hal itu akan diperjuangkannya mati-matian. Pernikahannya dengan Sabilla.

Editorial Team

EditorYukie