Kos kecil di pinggir kota itu terasa biasa saja bagi Dimas. Ia menempati kamar sempit dengan dinding cat kusam dan sebuah cermin tua yang sudah menempel di sana entah sejak kapan. Awalnya ia tak peduli, menganggapnya sekadar perabot peninggalan penghuni lama. Namun, malam pertama sudah cukup membuatnya merinding.
Ketika ia berdiri di depan cermin untuk merapikan rambut, bayangannya tidak menirukan gerakannya dengan sempurna. Tangan kanan Dimas menyisir rambut, tapi sosok di cermin terlambat beberapa detik. Ia mencoba mengedip, tapi pantulan di sana justru menatapnya dengan tatapan kosong. “Mungkin aku kecapekan,” gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Hari-hari berikutnya justru semakin aneh. Bayangan itu mulai memperlihatkan hal lain: sosok lelaki yang ketakutan, seolah tengah dipaksa berlutut. Dimas terlonjak mundur, jantungnya berdetak kencang. Ia menutup cermin dengan kain, tapi setiap malam kain itu jatuh sendiri tanpa sebab. Seakan cermin itu menolak ditutupi.
Rasa penasaran bercampur takut mendorong Dimas mencari tahu. Ia bertanya pada ibu kos tentang kamar itu. Perempuan tua itu hanya menjawab singkat, “Dulu ada mahasiswa tinggal di sini. Tiba-tiba menghilang, tak pernah kembali.” Kata-kata itu menempel di kepalanya, membuat cermin terasa semakin berat keberadaannya.
Suatu malam, bayangan dalam cermin semakin jelas. Ia melihat seorang lelaki muda, wajahnya pucat, mata penuh ketakutan. Lelaki itu berusaha mengetuk permukaan kaca dari dalam, seolah meminta tolong. Dimas mundur, tubuhnya gemetar. “Apa maksudnya ini? Siapa kau?” teriaknya, tapi tentu tak ada jawaban selain ketukan lirih di balik kaca.
Tak tahan lagi, Dimas mengambil palu dan berniat menghancurkan cermin itu. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu memukul keras hingga kaca retak. Saat retakan itu menyebar, wajah asing di balik cermin perlahan memudar, berganti dengan potongan adegan lain. Bukan lagi lelaki asing, melainkan dirinya sendiri.
Dimas melihat dirinya sedang mendorong seseorang ke lantai, lalu memukulnya berkali-kali. Darah bercipratan, sementara tatapan mata di cermin penuh amarah. Ia tertegun, tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Tidak mungkin… itu bukan aku!” serunya, tapi bayangan itu menatapnya tajam, seakan menertawakan kebohongan.
Kaca pecah sepenuhnya, potongan cermin berjatuhan di lantai. Namun, salah satu pecahan masih memantulkan sosok Dimas—bukan seperti dirinya yang sekarang, melainkan versi lain: senyum kejam, tangan berlumuran darah. Tiba-tiba potongan itu bergeser sendiri, seakan menarik perhatiannya.
Dimas merasakan kepalanya pusing, memori samar mulai muncul. Malam-malam gelap, teriakan seseorang, dan tangannya yang berlumuran darah. Ia jatuh terduduk, menyadari bahwa lelaki yang hilang itu bukan korban asing. Ia sendiri yang melakukannya, sisi dirinya yang tak pernah ia sadari.
Cermin bukanlah kutukan, melainkan saksi bisu yang mengungkap siapa dirinya sebenarnya. Kini ia tak bisa lagi lari dari kebenaran: bayangan itu bukan hantu, tapi dirinya yang lain.