Daripada dibikin pusing memikirkan warna dan motif gamis-kardigan-kerudung-sepatu (eh, aku cuma punya dua sepatu) yang akan kupakai nanti malam, lebih baik tulisan ini kulanjutkan saja...
Perhatianku tertuju pada potongan waktu lain; sebuah momen yang tidak mungkin terjadi untuk yang keduakalinya. (Kalimat ini lagi? Ya, aku suka mengulang-ulangnya, karena kata-kata bisa diulang sedangkan waktu? tidak).
Murid-murid tampak sangat ceria, mereka berdesak-desakan; antusias karena ingin berada di barisan depan. Ingin eksis dipotret. Sampai-sampai tubuh kami; Ibu Wakil Kepala Sekolah, tiga guru, dan empat wali murid sangat berdempetan. Sehingga tak sengaja ujung sepatu salah satu murid menginjak kaus kaki beliau.
Kulihat raut wajah Ibu Waka –yang sehari-harinya selalu memasang muka galak- sangat syok. Bisa dipastikan, ya. Setelah itu beliau langsung memarahi murid-murid, lalu mereka saling menyalahkan satu sama lain. “Dia Bu, ini lho Bu, bukan aku Bu, dari belakang yang mendorong duluan, Bu."
Kami bertujuh tertawa ngacir menyaksikannya. Setiap kali mengingat lakuan mereka, aku merasa seperti gadis supel yang memiliki banyak kenangan manis. Haa!
Oh iya, pada waktu itu aku kehilangan bros bunga mawar kecil pemberian mantan suamiku. Mungkin terjatuh saat berdesak-desakan dengan murid-murid. Ibu Rum dan Mas Yusuf sempat membantu mencarikannya untukku, tapi sayang bros itu raib bak ditelan tanah perkebunan.
Andai bros itu berupa bibit mungkin saat ini telah tumbuh dan bunga mawarnya bermekaran, semoga saja duri-durinya tak sampai melukai siapapun. Halah, lebay! Haha. Aku merasa sungkan pada Mas Yusuf. Selain itu ia sempat bertanya apakah bros itu harganya mahal atau begitu berarti bagiku. Aku jawab bercanda, “bros itu hanya berpindah tempat, Mas. Lagian bisa dibeli lagi, murah kok."
Tapi ia tetap saja mencarinya, melibatkan murid-murid, mengecek semua berkas foto di kamera milik sekolah yang ia pegang. Sayang seribu sayang, mungkin bros itu sedari dulu memang telah kecewa sebagaimana sikap pemberinya kepadaku? Ah, cukup.
Sewaktu kami; beberapa murid, Ibu Rum, dan Mas Yusuf, mencari keberadaan bros itu aku berharap kau juga membantu. Tetapi kulihat kau bersama Mbak Lufita tengah menemani murid-murid belajar, fokus pada edukasi menanam tumbuhan.
Kau sempat penasaran dengan apa yang kami lakukan, berhubung Mbak Lufita menyergahmu supaya tetap memerhatikan murid-murid akhirnya kau mengabaikan kami. Kau tidak tahu, sebenarnya wanita di dekatmu itu menatapku sinis, jenak. Tak lama kemudian datang Pak Saif menegurmu supaya tidak merokok. Sebagaimana pada potongan waktu ini, saat kami berpose, berdesak-desakan di depan Mas Yusuf. Kau berdiri menyandarkan tubuhmu pada pagar tanaman, kau berada di belakang kami bersama Pak Kepsek dan tanganmu masih tak bisa lepas dari rokok.
Aku ingat, sebelum pulang dari wisata perkebunan terjadi percakapan kecil antara Pak Kepsek dengan Pak Saif, cukup membuat kami semua terhibur.
“Kalau bukan karena cinta orangtua mereka mungkin kita tidak punya tempat tinggal, saat sakit kita tak bisa mengkonsumsi obat, bahkan bisa jadi saat kita makan tidak ada sayur-mayurnya. Saya ingin menjadi orangtua seperti mereka," ucap Pak Kepsek, pandangannya memutar 180 derajat.
"Tentu, Pak. Maka benarlah narasi monolog salah satu iklan di televisi," sahut Mas Saif.
"Memangnya ada? Narasi iklan yang benar-benar jujur, tidak dilebih-lebihkan, Pak? Apalagi iklan yang berhubungan dengan ini."
"Kalau dicocokkan dengan penuturan sampean tadi ada, satu iklan."
"Wah, iklan apa itu, Pak Saif? Gimana bunyi narasinya? Saya tidak tahu. Karena saya lebih suka menonton acara komedi, balap motogp, adu tinju, dan berita daripada menonton iklan."
Seloroh Pak Kepsek itu sudah membuat kami -yang kebetulan berada di dekatnya- tertawa. Mungkin karena merasa diledek, kemudian Pak Saif mengeluarkan jurusnya.
"Meski tak persis tapi agak-agak mirip, kalau tak salah bunyinya begini, 'Ini Malika, anak kami, mereka kami besarkan sepenuh hati seperti anak sendiri.' Hasilnya anak kami pun tumbuh, besar, dan bergizi lalu kami makan sendiri."
Sontak kami semua tertawa, Pak Kepsek pun menggeleng-gelengkan kepala dan tak bisa menyembunyikan tawanya. Lalu Pak Saif menoleh ke arah kami, ia mencari dukungan atas justifikasinya mengenai hubungan narasi iklan itu dengan penuturan Pak Kepsek.
"Loh, kecap kan emang dari tumbuh-tumbuhan to? Betul, kan Pak Ami?".
Kau jawab, "Sak karepmu, Pak." Haha.
- Potongan Waktu, Wisata Penghijauan. 22-Februari-2015.
**Bersambung ke bagian 2