13:00 WIB
“Mbak Asti, nanti malam berangkat sama siapa? Kebetulan misuaku ndak bisa nemenin, bareng aku aja ya.”
“Guru-guru di sekolah katanya mau berangkat rombongan.”
“Si Tuan Putri ngajakin pakek dresscode warna abu-abu mendung, galau doi, Mbak. Ckck!”
“Oh iya Mbak Asti, map laporan bulanannya jangan lupa besok dikumpulkan ya.”.
Pada saat memilah potongan waktu yang menampilkan keberadaanmu tiba-tiba sms Mbak Luluk menjeda perhatianku. Entah, sekonyong-konyong wajah imut kerabatku itu muncul di benakku.
Kupikir-pikir di antara semua guru di sekolah hanya Mbak Luluk yang sangat memahamiku. Setelah membalas smsnya kutemukan satu potongan waktu yang menunjukkan kita bertiga sedang asyik bercengkerama di kantin sekolah.
Aku, Mbak Luluk dan kamu...
Kira-kira sedang mengobrolkan apa ya? Mungkin, kalau tak salah sebelum kau duduk bersama kita berdua, Mbak Luluk memintaku menceritakan mengapa suamiku memutuskan mentalak tiga kepadaku.
“Padahal kelihatannya dia lelaki melankolis baik-baik, karena bukan sekali-dua kali aku bertegur sapa dengannya, dan lagi ia tampan. Tapi lebih tampan suamiku sih. Haha," canda Mbak Luluk menyela ceritaku.
Lelaki baik, anak yang patuh kepada orangtua, ibunya dari keluarga berada dan tentu memiliki harga diri lebih daripada penghormatan orang lain kepadanya, mungkin ini yang membuatnya tak bisa berbuat banyak. Bukankah masih ada solusi dan alternatif? Betul.
Di antaranya aku harus mundur dari urutan yang pertama. Setelah mendengar jawabanku wajah Mbak Luluk berubah, nada bicaranya meninggi. Tapi lucu, andai disambung dengan celoteh mantan suamiku mungkin mirip dialog FTV yang melulu menjadikan wanita sebagai sumber segala kesalahan dalam kehidupan rumah tangga.
Mbak Luluk tak henti menyangkal ceritaku, meskipun telah kujawab berulang kali dengan jawaban yang pas, ia tetap saja bersikukuh. “Peran ibunya penting, Mbak.”, “Ndak bisa!”, “Ibunya punya wewenang, Mbak.”, “Tetap ndak bisa, seharusnya ibunya juga mengerti. Pokoknya ndak bisa!.”
Lantas barulah kemudian ada jarum, hendaklah ada benangnya. Oh maaf, mungkin lebih tepatnya ada angin, ada pokoknya. Kau hadir begitu saja membawa segelas kopi panas buatan Mbok Say, duduk bersama kami; tepatnya di depanku dan mulutmu –masih saja- seperti cerobong pabrik.
Lalu hening, belum sampai satu menit wanita yang sedang hamil berusia tiga bulan di dekatku -masih emosi- langsung saja menodongkan pertanyaan kepadamu, “Mas Ami, apa yang akan kau lakukan andai istrimu divonis mandul oleh dokter? Jawab sekarang juga...” Mata Mbak Luluk tertuju ke arahku, kau mematikan rokokmu.
Sempat kulirik, ekspresimu terkejut. Aku tidak menyangka Mbak Luluk melakukan hal itu kepadamu. Namun di samping itu aku juga penasaran dengan jawabanmu. Kau menengadah, tak sadar meraih gelas berisi air gula di depanmu dengan kedua tanganmu, kau taruh lagi. Kau pegang daun gelas kopi milikmu, lamat-lamat air kopi itu kau cecap.
“Vonis itu dari dokter ya, Bu,” katamu memastikan.
“Terus?” Sergah Mbak Luluk.
“Ya, selama bukan vonis dari Sang Maha Pecipta berarti kita masih bisa terus berikhtiar dan berdoa, Bu.”
Seketika kami berdua tertegun mendengar jawabanmu. Sejujurnya, saat itu aku semakin kagum kepadamu. Seingatku, setelah itu aku terpaku, lamunanku memunculkan banyak hal usai yang tak seharusnya kuingat lagi.
Oh, andai begini andai begitu, aku maunya begini kamu maunya begitu, seperti lirik lagu Numata Band saja. Tak lama kemudian terdengar suara hentakan kaki murid-murid datang dari lapangan bersamaan dengan kehadiran Mas Yusuf dan si Tuan Putri.
- Potongan Waktu, Kantin Sekolah. 1-September-2015.
***
Map laporan bulanan sekolah, binder, dan semua foto-foto dibiarkannya berantakan di atas kasur. Asti membeku di depan lemari. Dari ruangan tamu terdengar suara Luluk berkali-kali menghardik Asti supaya segera ganti pakaian karena rombongan guru di sekolah sudah berangkat sejak tadi. Tapi ia bingung, baju apa yang hendak dipakainya. Diintipnya pakaian Luluk melalui celah pintu kamarnya, tiba-tiba dalam sekejap Luluk masuk ke kamarnya, mengambil satu gamis, kardigan, dan kerudung berwarna ungu dongker dari lemari Asti lalu diletakkannya di kasur. “Ayo cepat pakek, kita kembaran.” Asti tergelak menyaksikannya. “Laporan bulanannya gimana?” tanya Luluk. Sembari membuka resleting gamisnya, Asti menunjuk ke arah kasur.
“Masya Allah berantakan sekali. Maklum ya, kamar perempuan.”.
“Darimana kau peroleh semua foto-foto ini, Mbak?,” Luluk melihatnya satu-persatu, semringahnya mekar saat melihat foto-foto tertentu.
“Lihat foto ini, bahkan aku sendiri pun tak punya. Hmm, ada artis saat hamil usia tiga bulan di kantin sekolah. Aduh, cantik sekali dia.
"Iya, iya, artis, Diana Punky."
"Eh, ada Mas Ami... Hahaha.” Tawa Mbak Luluk meledak.
Gawai Luluk berbunyi, ia buka pesannya ternyata dari Si Tuan Putri; ia memberi kabar sebentar lagi akan sampai di lokasi acara. Lalu mereka berdua pun bergegas berangkat.
Di tengah perjalanan Luluk merasakan ada sesuatu yang tak diketahuinya selama ini, imajinasi dan praduganya bercabang, tak temu ujungnya. Setelah mendengar jawaban temannya, darimana ia memperoleh semua foto-foto itu. Bagi Luluk tentu sangat janggal. Kenapa hanya Asti? Padahal foto-foto itu bagian dari dokumentasi sekolah.
***