Ini aneh. Aku tidak tahu kalau level kedinginan AC setiap minimarket itu berbeda-beda. Maksudku, yang sering aku datangi saja sudah bisa membuatku masuk angin jika berlama-lama di sana. Apalagi di sini yang dua kali lebih dingin dari minimarket langgananku? Apa mereka tidak memikirkan berapa banyak tagihan listrik yang harus mereka bayar? Apakah sebanding dengan pendapatan minimarket ini setiap bulannya? Atau berapa banyak batu bara yang PLTU bakar setiap detiknya agar AC di sini terus menyala? Bagaimana dengan keselamatan planet kita tercinta yang sudah uzur ini? Lalu--
"Hei!" Teriak seseorang.
Aku yang perlahan-lahan kembali ke Bumi menoleh ke arah suara itu berasal. Di sana, seorang cowok kerempeng yang memakai kemeja batik kebesaran dan berdiri di belakang meja kasir sedang melotot ke arahku.
"Apa?" Balasku dengan sengit.
"Tutup pintu kulkas sialan itu sekarang juga atau aku akan menutupnya menggunakan wajahmu yang menyedihkan itu," katanya dengan tegas. Mungkin juga terlalu tegas.
Aku tidak bisa untuk tidak merasa kebingungan. "Pintu kulkas?"
"Ya. Pintu kulkas yang sama yang sedang kau tahan menggunakan lututmu," desisnya.
Sialan. Sialan. Sialan!
Aku buru-buru menarik kakiku, memperbaiki cara berdiriku yang lumayan absurd, dan menutup pintu kulkas minuman dingin yang basah karena embun dinginnya tidak berhenti menetes dengan cepat. Kemudian aku mengusap lutut sebelah kiriku yang tidak lebih dingin dari botol minuman dingin di dalam sana. Murni karena aku ingin menutupi rasa maluku tapi gagal total.
"Bagus," gumamnya. Kemudian dia menuding pintu keluar menggunakan sebelah alisnya yang tebal dan berantakan. "Sekarang keluar."
"Aku bahkan masih belum tahu apa yang ingin aku beli di sini!" kataku memprotes.
Cowok kerempeng itu memutar matanya dengan dramatis. "Kau menyebalkan."
Apa-apaan!
"Kau tahu apa yang jauh lebih menyebalkan dari aku?" kataku, setengah berteriak dan setengahnya lagi terdengar seperti sedang meratapi nasib malang yang sedang menimpaku.
Cowok itu mengedikkan bahunya.
"Mengungkapkan perasaanku pada teman yang sudah lama sekali aku sukai lewat pesan suara karena menurutku itu sangat romantis tapi tidak dari segi pulsa dan di saat yang bersamaan cowok yang aku sukai ini sedang melamar pacarnya-yang-bahkan-tidak-pernah-aku-ketahui-keberadaannya-di-alam-semesta-ini-sebelumnya persis seperti di film romantis yang sering kakak perempuanku tonton tapi aku tidak pernah bisa mengingat judulnya dengan baik," kataku dalam sekali tarikan napas.
Cowok itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kelihatannya dia sudah mengetahui penyebab kenapa aku bertingkah sangat menyebalkan hari ini. Mungkin juga dia menganggapmu sebagai orang paling bodoh karena sudah--
"Bagaimana kau tahu kalau temanmu itu melamar pacar ghaibnya seperti di film romantis favorit kakakmu?"
"Dia menelponku," desahku dengan frustasi.
Dia menaruh salah satu tangannya di bahunya. "Dia bilang apa?"
"Dia menyesal karena tidak pernah menceritakan apapun itu tentang pacarnya." Aku menatap sandal jepitku yang nyaris putus. "Dia juga bilang kalau dia akan merasa sangat bahagia jika saja aku mengirimkan pesan suara sialan itu tiga jam lebih awal."
"Boleh aku mendengar pesan suaranya?"
Otomatis tanganku menyentuh saku jaket kumal tempat ponselku berada. "Kenapa?"
"Aku tidak akan tahu kalau pesan suaramu itu seromantis yang kau bilang atau tidak jika aku tidak mendengarnya langsung," katanya.
Dia benar juga. Tapi kenapa dia tiba-tiba saja bersikap baik padaku?
Persetan!
Aku berjalan ke arah meja kasir dengan cepat sambil mencari pesan suara yang sudah terkirim ke nomor bajingan itu di ponselku. Dan tepat saat kakiku menabrak meja kasir yang keras dan dingin aku memutar pesan suara sialan itu dengan volume paling keras yang bisa dikeluarkan oleh ponselku.
"Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi, sepertinya aku tahu apa yang ingin aku bicarakan padamu. Karena itulah kenapa aku mengirimkan pesan suara ini padamu, bung! Haha!"
Cowok kerempeng itu kembali memutar matanya.
"Euh... apa ya namanya... oh! Ingat tidak dengan yang aku katakan soal... mencari orang yang bahunya bisa dijadikan tempat bersandar saat kau lelah dan tangannya yang bisa digenggam saat kau sendirian? Ya, sepertinya um... aku sudah menemukan orang itu. Dan iya lagi karena orang itu ternyata sudah berada di hadapanku untuk waktu yang sangat lama. Tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin aku tidak cukup sadar untuk mengakuinya. Bukan! Orang itu bukan bang Bencong tukang bubur favorit kita. Orang itu adalah kau. Kau yang aku cari selama ini. Ini aku, Sarah, ngomong-ngomong. Kawan baikmu, tentu saja."
Cowok kerempeng itu mengembalikan ponselku sembari menepuk pelan bahuku. "Itu terlalu romantis jika harus diucapkan pada orang yang bahkan tidak kau sukai."
Aku tahu persis apa yang harus aku katakan. Atau paling tidak yang ingin aku lakukan. Tapi, entah kenapa, aku malah mengedikkan bahu dan tersenyum seperti orang aneh.
"Kau marah karena sahabatmu menyimpan rahasia darimu untuk waktu yang sangat lama," gumamnya.
"Dan fakta soal aku yang tidak bisa menutup mulut keluargaku agar berhenti menuduhku lesbian," tambahku dengan cepat.
Cowok kerempeng itu tersenyum sekarang. "Kopi?"
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum dengan sangat lebar. "Tentu saja."***