Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Unsplash/The Journal Garden

Pada malam yang tidak tertebak, semilir angin yang menyertaimu menghampiriku. Membawa aromamu bersama sesungging senyum yang mengoyak sukmaku. Lampu-lampu jalan meminjam warna rembulan untuk mengawalku. Menyusuri dingin yang ikut serta dengan angin aromamu.

Di antara langkah kaki yang munafik; menyelinapkan kegoyahan pada setiap pijakannya, angin aromamu menegur lewat dedaunan yang berguguran, beterbangan sesekali. Semilirnya melintasi kelopak mataku, bergesekan dengan genangan yang tertahan di sana. Bangsat, pikirku. Kalau ia tak jua berhenti melintas, genangan itu akan meluap, menciptakan aliran di antara guratan senyum.

Aku mendongakkan kepalaku, menerawang bintang-bintang yang sebenarnya tidak ada malam itu. Lebih tepatnya hanya sekadar agar genangan itu tak meluap dan mengaliri guratan senyuman yang kasat mata. Lampu-lampu jalan nampaknya berebut untuk meminjam warna rembulan. Beberapa dari mereka tak mendapat bagian; mengawalku dengan gelap. Malam dingin dengan angin aromamu yang menggugurkan dedaunan mempertemukanku dengan kursi panjang yang saling berpunggungan, berjajar di pinggiran menara malam yang mendentangkan jarum jam pada empat sisinya.

Layar empat koma lima inchi, terhubung dengan kabel panjang berkepala dua yang mencumbu kedua telingaku menjadi karib setia yang mengiringi pijakanku malam ini. Aku juga membawa serta tulang rusukku; lembaran-lembaran yang memeluk erat sajak-sajak tentangmu. Ruang paling menyejukkan untuk mengungkapkan sukma yang tak bisa meraih ragamu.

Editorial Team

Tonton lebih seru di