Dari sekian banyak pilihan kos di pusat kecamatan ini, aku akhirnya nekat memilih yang paling murah. Harga setengahnya kos lain, lokasi strategis, dan sudah termasuk listrik. Satu-satunya kekurangan adalah… gosip. Katanya, kamar nomor 7 sudah lama kosong karena “ada yang tinggal” selain manusia.
Tentu saja aku cuek. Aku lebih takut sama saldo ATM kosong daripada hantu.
Hari pertama pindah, ibu kos menatapku sambil agak rikuh.
“Dek, kamu yakin ambil nomor 7? Soalnya…”
Aku tersenyum kaku. “Iya, Bu. Saya orangnya kuat iman kok.”
Padahal dalam hati, iman dan niat menabung sering kalah sama promo midnight sale.
Malam pertama, aku rebahan sambil scrolling TikTok. Tiba-tiba… tok tok tok. Ada yang mengetuk pintu. Aku langsung merinding, tapi memberanikan diri untuk buka pintu. Kosong. Angin malam masuk sedikit, membawa aroma wangi melati.
“Ah, paling anak kos lain ngetes mental,” gumamku.
Lalu aku ketawa sendiri, padahal seluruh penghuni kos katanya cuma tiga orang.
Beberapa menit kemudian, suara gesekan kursi terdengar dari pojok kamar. Aku refleks berdiri. Kursi plastik punyaku bergerak pelan, seperti ada yang menyeretnya. Aku mencoba logis.
“Paling tikus gede. Atau… kursinya lagi stretching.”
Omongan itu begitu jelas tak masuk akal, tapi anehnya bikin aku cukup tenang.
Malam kedua, makin jelas gangguannya. Ada suara shower menyala di kamar mandi padahal aku sendirian. Air mengalir, lengkap dengan suara orang bersenandung lirih. Aku mendekat pelan. Begitu kubuka pintu kamar mandi—kering, kosong, tak ada setetes air pun.
Aku mulai kesal.
“Ya Allah, setan pun kalau mandi jangan buang-buang air dong. PDAM mahal tahu!”
Entah kenapa setelah itu, suara berhenti.
Malam ketiga, aku benar-benar nggak bisa tidur. Lampu kupadamkan, lalu dari arah lemari terdengar suara bisikan. Pelan sekali, seperti orang ngobrol. Aku menahan napas. Jantungku berdegup. Suaranya makin jelas.
“Eh… udah tidur, ya?”
Aku meloncat dari kasur. Rasanya darahku berhenti mengalir. Itu jelas suara perempuan!
Dengan gemetar, aku memberanikan diri menjawab.
“Bel… belum.”
Sunyi. Lalu, pelan-pelan, pintu lemari terbuka sendiri. Dari dalam, muncul sosok perempuan dengan wajah pucat, rambut panjang berantakan, baju putih lusuh. Mata hitamnya menatapku tajam.
Aku langsung membeku. Ingin kabur, tapi kaki seolah ditancap ke lantai.
Lalu… dia tiba-tiba duduk di kursi plastik.
“Eh, boleh numpang nonton sinetron nggak? Aku bosan di lemari terus.”
“...”
Jadi ternyata, penghuni kos nomor 7 memang bukan manusia. Tapi anehnya, dia tak menakutkan seperti bayanganku selama ini. Malah sangat cerewet. Besok-besoknya dia suka muncul jam tujuh malam, minta dibuatkan kopi atau sekadar komentar soal K-drama.
Lucunya, sejak itu aku malah merasa lebih aman. Kalau ada maling masuk, jelas mereka akan kaget melihat dia muncul duluan. Dan aku? Aku jadi satu-satunya anak kos yang bisa bilang: “Sekamar sama hantu itu… kadang lebih murah daripada pasang CCTV.”