Melangkah disini..
Kukira..
Adalah suatu awal yang baru..
Kupikir..
Cerita lain yang ingin kuukir..
"Selamat Anda diterima di Universitas Negeri Ganesha
Jurusan: Sekolah Farmasi"
Kurang lebih seperti itu tulisan yang tertera di layar komputer tuaku yang tak lelah menemani beberapa hari-hari terakhir ini. Itulah satu kalimat yang sudah lama aku tunggu dan membuatku galau. Tiga tahun sudah masa-masa SMA ini terlewati olehku, kisah putih abu yang tak pernah lepas dari memori ini. Kembali menatap suatu dunia baru yang berbeda dan tak terbayangkan.
"Deb!" sambil menarik buku PR Matematikaku bersampul pink yang unik.
Hal itu yang akan selalu kurindukan di masa-masa kuliah nanti. Itu kebiasaan salah satu sahabat terbaikku, Wirawan Setyo atau sering dipanggil Wira. Seorang pria berperawakan tinggi, kurus, putih, berlogat Jawa nya khas dan belum pernah tertarik pada salah satu wanita di sekolahku. Bertolak belakang dengan Mike Otniel atau sering dipanggil Miko, seorang sahabatku yang lain. Sosok pria berkulit sawo matang, rambut spike dan pemikat hati wanita di sekolahku.
"Nyontek aja lu, belajar udah mau ujian akhir juga," ucapku kepada mereka berdua.
Dua minggu ini merupakan minggu paing hectic sepanjang sejarah. Semua anak sibuk mempersiapkan Ujian Akhir Nasional. Begitupun aku, Wira dan Miko. Kami jarang bertemu di luar jam-jam sekolah selama minggu-minggu itu. Setelah minggu UAN terlewati kami bisa bernapas lega. Kami menghabiskan waktu bersama. Sambil berbaring di atas hamparan rumput hijau yang luas kami berbincang santai.
"Prom Night lusa besok lho. Yuhuuu," ucap Miko sang pria melankolis sejagadraya. Dia sahabat terbaikku sejak taman kanak-kanak di sekolah Santa Louisa. Empat belas tahun sudah aku bersamanya menginjakkan kaki di salah satu sekolah terfavorit di kotaku. Aku akan rindu semua kisah kasih yang pernah terajut di setiap momen yang ada. Terutama kenangan terindah di masa putih biru itu.
Waktu memang berlari begitu cepat, sudah satu minggu aku memulai aktivitas baruku di kampus ternama ini. Banyak hal baru yang aku dapatkan dan pelajari disini. Selama satu bulan kegiatan pengenalan kampus ini, aku sudah mendapatkan beberapa teman dekat. Mungkin mereka berbeda dengan Miko dan Wira, tapi aku harus bisa beradaptasi. Terlebih mereka semua hampir wanita, aku tak biasa memiliki teman wanita sejak dahulu. Dan disinilah aku belajar.
Pelajaran-pelajaran baru, aktivitas berbeda, suasana baru kadang membuatku homesick. Tak jarang aku pulang ke rumah beberapa minggu sekali. Atau mamaku yang datang untuk menjengukku. Namun karena kos Wira masih tak jauh dari kosanku, aku sering pergi ke tempatnya dan jalan bersamanya. Kami sering sharing pengalaman di kampus masing-masing. Dan akupun sering menanyakan tentang wanita yang ada di kampusnya. Walaupun jawabannya selalu nihil. Dia belum tertarik dengan wanita jurusan manapun. Ya, mungkin itu juga terjadi pada diriku.
***
Namun..
Ku kembali melihat kepakan sayap itu..
Hadir di setiap lembaran kisah hidupku..
Putih warna yang sempat pudar..
Kembali memberi spektrum warna duniaku..
"Duh ini kampus besar banget sih," keluhku dalam hati.
Berjalan menyusuri jalan menuju gerbang belakang membuatku cukup lelah. Namun hujan hari ini tak pernah lelah membasahi Kampus Ganesha. Di balik payung bermotif bunga aku berjalan cukup cepat tanpa memperhatikan orang-orang sekitarku.
"Deb! Deb!"
Terdengar samar teriakan memanggil namaku. Aku menoleh sekilas namun tak menemukan dimana sumber suara tersebut. Ku putuskan untuk lanjut berjalan.
Huh..huh..huh.. Dengan nafas terengah-engah dan baju basah kuyup, pria itu menghampiriku.
"Deb, gue panggil-panggil lu daritadi tapi gak nengok-nengok."
Dia menatapku, aku hanya bisa menatapnya, terdiam dan terasa ada sesuatu di tenggorokanku yang membuat suaraku tersumbat.
"Hei!" ucapnya.
Aku masih diam seribu bahasa, percaya tak percaya aku merasa seperti mimpi.
"Permisi, permisi," kata orang-orang di sekitar kami. Ternyata kami menghalangi jalan keluar orang-orang. Ucapan mereka menyadarkanku dari tatapan kosong itu. Refleks dia menarik tanganku dan mengajakku ke tempat teduh.
Dia ada di hadapanku sekarang, pria yang pernah mengisi hatiku tujuh tahun yang lalu. Jo Farrel, pria berkulit putih, berperawakan kecil untuk ukuran pria, rivalku sewaktu SMP. Namun sekarang badannya sudah cukup berotot, suaranya khas nya sudah mulai berubah dewasa dan dia telah melepas kacamatanya. Sosok pria yang telah mengenalkanku apa artinya cinta, memberi warna berbeda di dunia putih biruku.
Aku masih diam seribu bahasa. Farrel melambaikan tangannya di wajahku membuyarkan lamunanku.
“Deb..”
“Eh. Hmm. Sorry. Gue masih terkejut lu ada disini, bukannya..”
Dia menyela perkataanku. “Bukannnya gue kuliah keluar negeri maksudnya?”
“Ya.”
Dia tersenyum kepadaku. Senyum yang masih sama semanis dahulu menghiasi wajah imutnya.
“Ya, mama memang menyuruh gue ikut Kak Lina kuliah di Aussie. Tapi gue pikir terlalu jauh. Dan jurusan yang gue inginkan ada di salah satu universitas di Singapore, namun rating-nya kurang bagus. Saat tahu disini ada jurusan tersebut, gue mencoba cari tahu lebih lagi. Dan gue dengar lu diterima disini. Sehari sebelum pendaftaran ditutup gue langsung daftar tanpa pikir panjang.”
“Oh.”
Aku tak banyak bicara, pikiranku masih berkecamuk tak percaya.
“Lu mau pesen makan apa?”
Aku masih membolak-balikan menu di hadapanku, dan akhirnya memilih ayam bakar yang merupakan menu favoritku.
“Kesukaan lu masih sama ya Deb. Tidak berubah.”
“Ya begitulah, lu mau pesen apa?”
“Gue ayam bakar juga. Mau coba ayam bakar sini katanya enak.”
“Saya ulang ya pesanannya, ayam bakar dua porsi, es jeruk satu, es teh manis satu. Ada tambahan lain?” Pelayan berseragam putih hitam mencatat menu yang kami pesan.
“Tidak. Itu saja.”
“Farrel, memang lu bisa makan ayam bakar?”
“Bisa, kenapa tidak?” Mukanya tampak bingung.
“Bukannya lu harus makan ditemani dengan kuah?”
“Lu masih ingat?” Farrel tertawa, wajahnya tampak puas bahwa aku masih mengingat hal-hal sekecil itu mengenai dirinya.
“Ya tentu ingat, lu kan sahabat gue.”
Farrel memang pernah mengisi hatiku, namun hubungan kami memang tak bisa dilanjutkan karena suatu alasan. Kami pernah berkomitmen untuk tetap bersahabat apapun yang terjadi. Karena kami berkenalan secara baik-baik, maka kami juga berpisah secara baik-baik.
Waktu memang terasa begitu cepat, dua minggu lagi kami akan menghadapi Ujian Tengah Semester ini. Aku jarang melihat handphone dan fokus mempersiapkan ujian. Menyelesaikan tugas besar, laporan praktikum dan beberapa presentasi menjadi teman keseharianku. Namun masih ada beberapa bab dari mata kuliah Kalkulus yang masih belum aku mengerti. Sepertinya aku membutuhkan tutorial. Mata kuliah di kampus ini memang masih seperti SMA, namun memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Oleh karena itu aku memutuskan menghubungi Farrel, dia memang master di dunia Matematika sejak dahulu. Dan dia begitu sabar mengajariku, itu yang membuatku nyaman.
“Rel, lagi sibuk? Aku boleh tanya Kalkulus?”
Sudah satu jam namun BBM-ku belum juga dibaca olehnya. Mungkin dia sedang sibuk pikirku.
Drrt..drrt.. Getar Bellagio hitamku membuatku terhenti dari coretan-coretan di lembaran kertas buram sejak dua jam lalu.
“Sbb Deb. Gak liat hp. Boleh, apa?”
Dia masih memiliki kebiasaan seperti dahulu, jarang membuka handphone jika tidak ada keperluan. Farrel memang tak banyak berubah.
“Mau tanya soal Limit. Gue foto aja soal-soalnya?”
“Susah jelasinnya lewat bbm. Belajar bareng aja gimana? Besok Jumat gue sama temen-temen mau belajar di kosan gue. Lu ikut aja.”
“Emang gak apa-apa? Gak enak sama temen lu.”
“Santai, kok. Mereka asik kaya gue, hehe.”
“Oke, alamat lengkap kosan lu dimana?”
“Tubagus Ismail 2 no 16b.”
Pukul 17.00, kos-kosan putih bertingkat tiga tepat di hadapanku, seorang satpam tersenyum ramah dan meminta KTP-ku sebagai data tamu hari itu. Aku menunggu di ruang tunggu dan menghubungi Farrel. Tak lama Farrel keluar dari kamarnya.
“Hai Deb. Udah lama?”
“Belum kok, baru aja datang. Mana teman-teman lu?”
“Masih otw. Belajar aja yuk. Mana yang mau lu tanyain?”
Farrel mengajariku dari teori-teori dasar dan lanjut membahas soal latihan. Tak jarang kami juga mengobrol beberapa hal konyol yang pernah kami lakukan dahulu. Kami tertawa lepas membayangkan hal tersebut.
“Farrel.”
Suara lantang itu menghentikan obrolan kami.
“Hai Tom. Kenalin ini Debora anak Farmasi. Dia mau belajar bareng kita.”
Tomy mengulurkan tangannya, kami bersalaman dan berkenalan. Tak lama kemudian, Bimo, Darryl dan Rio datang. Mereka teman-teman sefakultas dengan Farrel. Kami belajar bersama hingga pukul 19.30.
“Rel, lapar gak? Makan yuk.” Bimo mengelus-ngelus perut buncitnya dengan tampang memelas.
“Lumayan lapar. Ayo makan dulu, makan apa ya?”
“Gimana nasi goreng depan kos gue? Sekalian gue balik.” Tomy tertawa disusul dengan Rio mengiyakan.
“Udahan belajarnya? Nanti dong, belum ngerti gue.” keluh Darryl sambil memutar-mutar pensilnya.
“Makan dahulu Ryl, baru lanjut lagi. Debora juga belum balik kok. Nanti kita belajar bertiga.” Farrel membuat keputusan tanpa menanyakan padaku terlebih dahulu.
“Rel, ini nasi gorengnya banyak banget.” Mataku masih tertuju pada nasi goreng setinggi gunung di piring makanku.
“Tenang Deb, ada Bimo itu yang nampung.”
“Iya-iya, sini Deb kasih gue. Gue aja masih kurang. Hahaha.”
“Lu lahap banget Rel makannya, doyan apa lapar?” Rio menyikut tangan Farrel.
“Jaim dikit kali Rel depan cewe. Hahaha.” Tomy meledek Farrel yang masih lahap makan.
“Rel, lu bisa makan nasi goreng?” Aku jadi teringat kebiasaan makan Farrel yang harus makan dengan kuah.
“Bisa. Kenapa?” Semua mata menatapku dengan bingung. Farrel melirikku memberi kode untuk tidak mengatakan hal itu di depan teman-temannya.
“Emang kenapa tidak bisa?” dengan mulut terisi penuh nasi Darryl menanyakan hal itu padaku. Belum sempat menjawab, Farrel menyelaku.
“Oh, Debora cuma khawatir gue sakit tenggorokan.”
“Ciee. Perhatian banget.”
Aku menelan ludah, tak bisa memberi alasan lain dengan perkataan Farrel tadi. Alasan Farrel membuat teman-temannya berpikir macam-macam. Aku dan Darryl masih belajar hingga pukul 23.00. Dingin malam ini cukup menggigit menembus pertahanan kulitku. Aku masih di ruang tunggu bersama Darryl. Farrel masuk ke kamarnya dan belum keluar sampai sekarang. Di balik jaket putihnya dia keluar membawa sebuah sweater abu dan melingkarkannya di pundakku.
“Lu kedinginan kan? Pakai ya.”
“Makasih.” Aku melempar senyum kepadanya dan hatiku merasa sesuatu yang berbeda.
“Ayo gue anter pulang, sekalian sama Darryl. Kos lu dimana?”
“Cihampelas.”
Avanza hitam sudah menunggu di depan kos. Deru suaranya memecah kesunyian malam ini. Aku duduk di depan menemani Farrel menyetir. Darryl di belakang tetap asyik dengan headset yang menempel di telinganya.
***
“Deb, tunggu di taman baca. Gue ada urusan bentar.”
Kakiku menyusuri jalan berbatu dengan cepat. Mendung melingkupi hari itu, semendung pikiranku dengan berbagai rumus yang harus ku mengerti. Farrel belum disana. Aku menunggu sambil melihat rangkuman yang dia buat untukku. Tak jauh aku melihat Seline sedang belajar sendiri. Dia salah satu teman sejurusanku. Aku menghampirinya hendak menyapanya.
“Hai Sel, sendiri? Lagi apa?”
“Hai Deb, disini juga? Nunggu teman mau minta diajarin.”
Suara tapak kaki menghentikan perbincangan aku dan Seline. Farrel tersenyum ke arah kami berdua.
“Maaf tadi ada urusan di kelas. Kalian sudah saling kenal kan? Kita belajar bertiga tidak masalah kan? Lusa sudah ujian, susah mengatur waktu lagi.”
Aku cukup terkejut, Farrel mengenal Seline dengan baik. Mereka memang satu unit kebudayaan, tapi aku tak mengira mereka cukup dekat. Seline sampai bisa meminta Farrel mengajarinya. Tidak, aku tidak cemburu. Aku meyakinkan diriku sendiri.
Ujian dimulai pukul 13.00, masih 20 menit lagi sebelum aku menghadapi ujian. Aku meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa dengan segala persiapan yang telah aku lakukan. Dengan teliti aku menghitung ulang semua jawabanku dan keluar ruang ujian tepat pukul 15.00. Aku membuka handphone-ku, dua bbm masuk.
“Semangat Deb. Sukses ujiannya. :) Gbu.”
“Gimana ujiannya?”
Dua bbm dari Farrel. Aku cukup senang membacanya. Aku tidak membuka handphone sejak tiga jam lalu, dan aku baru membaca bbm itu setelah selesai ujian.
“Thanks. Lumayan bisa. Lu? Pasti bisa ya, hehe.”
“Sip. Bisa.”
***
Merpati itu nyata di hadapanku..
Kembali membuka kisah lama kita..
Mengisi relung hati yang kosong..
Mengulang kisah kasih di zaman putih biru..
Farrel ada di depan kelas Gedung Farmasi. Tak tahu apa tujuannya ada disini. Aku hanya memandang dari kejauhan. Ternyata benar dugaanku, dia bertemu Seline. Ada perasaan kecewa di hatiku. Tapi aku berpikir, mereka memang cocok kalau dilihat-lihat. Daripada aku memikirkan mereka, masih banyak hal yang harus aku pikirkan. Aku harus mengurus beberapa persiapan untuk workshop divisi publikasi Perkumpulan Remaja Priyangan.
Hal ini cukup memenuhi pikiranku. Aku mendapat tugas dari Ketua Divisiku untuk mempersiapkan desain publikasi acara dan menghubungi tutor yang telah direkomendasikan. Aku tidak bertemu Farrel selama beberapa minggu, dia juga tidak menghubungiku melalui bbm maupun media sosial. Sabtu ini divisi publikasi Perkumpulan Remajaku Priyangan akan mengadakan workshop dan berjalan-jalan ke Kawah Putih. Aku tak sabar untuk acara ini. Sudah lama kami sulit mengatur waktu pertemuan karena jadwal kuliah yang sibuk. Aku juga berharap cuaca ikut mendukung acara kami.
Gerimis yang cukup deras tak menghalangi kita untuk tetap masuk ke area Kawah Putih. Kami sempat berfoto bersama di gerbang depan. Lalu kami melanjutkan sesi foto dan beberapa pelajaran teknik berfoto dari Kak Yana. Dia telah menghidupi dunia fotografi sejak SMA. Teknik foto yang dia ajarkan cukup membuatku kembali bersemangat untuk belajar dan belajar lagi.
Saung bambu di wilayah Bandung Utara memperlihatkan keindahan Bandung dengan cahaya lampu di tengah gelap malam. Sudah lama aku tidak merasakan keindahan dengan udara sejuk ini. Kami mampir ke saung bambu untuk makan malam sebelum pulang ke kos masing-masing. Andai aku bisa kesini dengan seseorang spesial di hatiku. Harapku dalam hati.
Hari Minggu sore ini tak seperti biasanya, kos begitu sepi karena beberapa orang telah pulang kampung setelah selesai Ujian Tengah Semester kemarin. Ku buka lemari bersusun empat di pojok kamarku. Terdapat sebuah kotak sepatu yang kubuat sebagai tempat menyimpan barang-barang kenangan dan itu masih tertata rapih. Surat-surat, gantungan handphone, panda coklat kecil yang menghias meja komputerku dahulu, buku diary dengan gembok hati yang tetap terkunci dan foto-foto sewaktu SMP.
Barang-barang tersebut sudah cukup berdebu, dan satu foto kembali mengingatkanku pada kenangan bersama Farrel. Itu foto pertama kami. Foto itu memang tidak hanya kami berdua, itu foto sewaktu kami lomba Olimpiade di salah satu sekolah negeri di kota kami. Aku, Farrel, St dan Alva masih dengan wajah imut masing-masing bergaya konyol di depan kamera. Aku tersenyum melihatnya. Serasa kenangan itu masih begitu dekat walaupun sudah berlalu sejak tujuh tahun yang lalu.
Farrel yang masih lugu, suara cemprengnya yang khas, ucapan mesranya di akhir sms, perhatiannya yang lebai, senyumnya yang begitu manis sungguh masih melekat dalam memori ini. Walaupun mungkin saat ini dia kembali hadir di hidupku, dia yang lebih dewasa, dia yang lebih matang dalam berpikir, tapi dia tetap Farrel kecilku yang masih memiliki tempat yang sama dalam hatiku.
Tok..tok..tok.. ketukan pintu kamarku membangunkanku dari bayangan masa lalu. Ada tamu untukku. Entah siapa dia.
***
Janji yang pernah terucap..
Kata yang pernah terangkai..
Masih terukir di tempat yang sama..
Tergenggam erat dalam hati dan jiwa..
Seorang pria di balik jaket putihnya sedang menungguku di ruang tamu. Nampaknya aku mengenali sosoknya, seperti Farrel. Tapi mau apa dia disini pikirku. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.
“Deb.”
“Hai, kok gak bilang mau ke kos? Ada apa?”
“Cuma mau ketemu lu. Lagi sibuk apa? Jalan yuk.”
“Oh. Cuma lagi beres-beres kamar kok. Boleh, gue ganti baju bentar ya.”
Kedatangan Farrel yang mendadak membuat otakku tak berfungsi sepenuhnya. Aku mengambil kaos dan celana pendek selutut serta sepatu sandal. Aku pikir tak perlu pakaian formal. Farrel hanya menggunakan jaket dan sandal biasa.
“Kita mau kemana?”
“Ke tempat yang pasti lu suka.”
“Lu hari Minggu gak jalan sama teman-teman? Atau sama Seline mungkin.”
Apa yang aku katakan tadi, bodohnya akau melontarkan kalimat itu. Tapi wajah Farrel tetap tenang dan santai. Malah aku yang terlihat tampak bingung. Dan dia hanya menggelengkan kepalanya. Saung bambu di Bandung Utara menjadi tempat tujuan kami, aku tak tahu maksud Farrel membawaku ke tempat ini.
“Sudah sampai, ayo turun.”
“Turun? Kenapa kita kesini?”
Dia tidak menjawab, Farrel membuka sit belt nya dan membukakan pintu untukku.
“Silahkan princess.” Dia menggerakan tanggannya mempersilahkanku turun sambil tersenyum lebar.
Langit belum terlalu gelap, namun aku bisa merasakan keindahan kota Bandung dari atas sini. Nampaknya Tuhan begitu cepat menjawab doaku seminggu yang lalu. Baru saja aku berharap bisa merasakan keindahan ini bersama seseorang yang spesial untukku dan Farrel yang membawaku kesini. Apakah Farrel orangnya? Aku belum tahu pasti.
“Indah ya pemandangannya. Kamu suka? Aku masih ingat kamu ingin sekali ke tempat indah dan romantis. Sudah cukup romantis belum? Oh ya, ini.” Farrel menyodorkan sebuah kotak kecil berlapis kertas kado berwarna pink. Sikap Farrel cukup membingungkanku, dia juga mulai memanggilku dengan sebutan aku-kamu.
Namun aku hanya bisa tersenyum padanya, melambangkan perasaanku yang sangat bahagia saat ini. “Ini apa?”
“Buka aja.”
Sebuah kunci dengan bentuk hati ada di dalam kotak itu. Kunci itu merupakan kunci dari gembok diary kami. Diary yang telah terkunci selama ini. Kunci yang telah mengunci pintu hatiku juga selama tujuh tahun ini. Farrel masih menyimpannya.
“Apa maksud ini Rel?”
“Tujuh tahun yang lalu, kamu memberikan kunci itu padaku. Itu kunci yang dapat membuka gembok diary kita berdua. Itu mungkin waktu yang cukup lama untukku menunggu, tapi aku menepatinya sekarang Deb. Janjiku padamu tak pernah sedetikpun hilang dari pikiran ini. Wanita sempurna yang pantas kutunggu. Mungkin kamu sudah banyak berubah dari segi penampilan. Menjadi Debora yang lebih anggun dan dewasa. Tapi kamu tetap Debora gadis kecilku yang punya semangat mengejar impiannya, yang tak pernah memberi kesempatan untuk mundur dari tantangan, yang memiliki kelemahlembutan seperti tujuh tahun yang lalu. Aku pernah berjanji padamu akan datang kembali padamu di waktu yang tepat, yaitu tujuh tahun dari waktu kita berpisah. Dan aku mau membuka kembali kisah kita yang belum selesai, seperti aku membuka kembali diary itu untuk kita kembali menulis.”
Aku tak kuasa menahan air mataku tumpah di hadapannya. Farrel masih mengingat janji kami berdua tujuh tahun yang lalu. Perpisahan yang kami alami karena sikap kekanak-kanakan dua makhluk belia. Kedua orangtua kami melarang hubungan kami karena usia kami yang masih terlalu dini untuk berpacaran. Terlebih lagi keluarga Farrel memiliki status sosial yang jauh berbeda dengan keluargaku, orangtuanya melarang anaknya berpacaran denganku. Farrel masih terlalu kecil untuk berani memperjuangkan cinta kami saat itu.
Diary itu masih kusimpan dan kubawa sampai saat ini. Gembok itu tak akan pernah bisa dibuka jika bukan Farrel yang membukanya, dialah pemegang kuncinya, dan dia juga pemegang kunci hatiku. Diary itu berisi cerita kami berdua. Keluguan masa SMP, pertengkaran kecil karena kecemburuan, menangis ketika melihat Farrel mengobrol dengan wanita lain, marah karena aku didekati teman pria dan banyak kisah lainnya.
Pundaknya masih menjadi tempat kepalaku bersandar dan mencurahkan tangis. Aku berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Kucoba membuka mulutku untuk menanyakan hal-hal yang menghantui perasaanku selama ini.
“Farrel.”
“Ya?”
“Kalau kamu nunggu aku selama itu, memang gak ada satupun cewe yang deketin kamu? Kamu SMA pindah ke Jakarta tanpa memberitahu alasan padaku, dan pastinya cewe-cewe Jakarta pasti lebih segalanya dari aku. Dan aku pernah dengar gosip di sekolah kalau orang-orang ngomongin kamu sama cewe Jakarta.”
“Aku pindah ke Jakarta karena kamu. Kamu kan yang merencanakan untuk SMA disana, tapi tiba-tiba kamu membatalkannya. Dan di saat itupun diam-diam aku mendaftar dan telah diterima. Tak ada pilihan bagiku untuk membatalkannya. Aku mencoba menjalani walaupun itu terasa sakit harus jauh darimu. Aku juga memang pernah mencoba dekat sama cewe Jakarta. Dan sebenarnya itu hanya karena teman-temanku yang mengenalkan dan menjodohkanku dengannya. Mereka berpikir aku terlalu bodoh untuk tetap dengan janjiku pada seorang yang tak jelas masih mengharapkanku atau tidak. Tapi selama aku jalan sama cewe itu, aku gak punya rasa yang sama kaya waktu aku jalan sama kamu. Mungkin itu aneh, kita pacaran waktu SMP hanya lewat sms, telepon dan mengobrol di sekolah. Tapi semua yang aku rasakan sama kamu berbeda, aku gak pernah bosan sama kamu. Selalu ada cerita baru di setiap hariku sama kamu. Aku merasa kasihan sama cewe itu yang hanya menjadi tempat pelarianku. Jadi aku memutuskan hanya berteman dengannya. Sejak pertama kali bertemu denganmu, mungkin pertemuan pertama kita tak berkesan baik. Kamu menganggap aku rival yang harus kamu kalahkan. Tapi disitu aku melihat kamu sosok wanita yang berbeda, aku merasakan cinta sejatiku. Aku yakin dengan pendirianku bahwa janji kita itu masih ada di hati kita masing-masing. Kalau kamu sendiri?” Tangannya masih membelai lembut rambutku.
“Aku? Aku sudah menutup hatiku selama tujuh tahun ini. Jika ada cowo yang mendekatiku, aku lebih memilih menjadikannya teman ngobrol. Sama seperti teman-teman yang lain. Hm. Aku boleh tanya satu hal lagi?”
“Apa? Jangankan satu, berapapun boleh. Apa sih yang gak aku kasih buat kamu.”
“Gombal ya. Mau tanya soal Seline.” Aku meliriknya penuh tanya.
“Kamu cemburu ya?” Wajahnya mengamatiku dengan senyuman puas.
“Gak ya, enak aja.”
“Masih gak mau ngaku? Emang ya Debora si pencemburu akut belum berubah. Hm. Aku kenal Seline di unit kebudayaan, aku merasa cocok bertukar pikiran dengan dia. Kebetulan kami satu tim dalam acara ulang tahun unit kemarin, dan saat sebelum ujian dia memintaku mengajari Kalkulus. Jika aku ada waktu, aku bersedia mengajari siapapun kok.”
“Lalu, kamu menjemputnya di depan kelas waktu itu?”
“Sejujurnya aku hanya ingin bertemu kamu, cuma aku tak punya alasan untuk itu dan aku belum cukup berani mendekatimu lagi. Aku merenung dan menunggu waktu yang tepat. Aku yakin kamu masih menyimpan rasa untukku. Akhirnya aku memutuskan menemui Seline agar bisa melihatmu. Dan kebetulan aku juga harus mengurus beberapa laporan pertanggungjawaban sama dia. Aku lihat dari sorot matamu waktu itu sepertinya kamu cemburu, ternyata taktikku untuk menjaga jarak denganmu berhasil. Hahaha.”
“Ih, jahat banget Farrel.” Aku mencubit tangannya.
Kembali aku menyenderkan kepalaku di dadanya, dia merangkulku dengan lembut. Kehangatannya mengalir menghangatkan tubuhku. Udara malam ini terasa begitu hangat ketika berada di samping Farrel. Dia mengecup keningku dan kami kembali menatap indahnya terang bulan malam ini.
***
Kubuka diary itu dengan kunci yang kugenggam sejak tadi. Lembaran demi lembaran kubuka dan membuatku kembali terhanyut dalam indahnya masa bersama yang kami lalui. Hingga aku terhenti pada satu lembar yang kami tulis bersama.
6 Maret 2007
Kami berjanji setia dengan cinta kami dan akan kembali menulis diary ini tujuh tahun yang akan datang.
Aku, Jo Farrel berjanji mencintai Debora Marlyn. Aku akan menunggunya dan kembali tujuh tahun lagi menjemput cinta sejatiku. Aku akan menjadi pria dewasa yang akan memperjuangkannya.
Aku, Debora Marlyn berjanji mencintai Jo Farrel. Aku akan bertumbuh menjadi wanita yang cantik untuknya dan menunggunya kembali tujuh tahun lagi.
Farrel & Debora
Merpati itu tetap setia menunggu..
Cintanya tak pernah pudar..
Harapannya tak pernah goyah..
Tulus kasihnya memberi kisah kasih sejati..
