Situasi kali ini terasa begitu asing. Kali ini diriku menatap tajam bayanganku di cermin, melihat dengan seksama semua pemandangan di wajahku. Penuh dengan luka dan memar. Bahkan ada sedikit darah yang mengering sebagai jejak luka itu. Terasa asing karena biasanya diriku tidak peduli akan hal itu. Tetapi kali ini terasa banyak hal yang terpikirkan.
Nadia datang bersama satu temannya menyadarkan lamunanku.
“Wajah kak Farah lukanya banyak banget, pasti sakit yah,” Nadia berkata dengan raut muka menyiratkan rasa kasihan.
Diriku hanya bisa diam dan tersenyum tipis sebagai pengganti jawabannya. Entah harus menjawab apa, tetapi mendengar kata dan melihat ekpresi dikasihani orang lain, sangatlah aku benci.
Setelah selesai mencuci tangan di wastafel, aku mulai beranjak menjauh meninggalkan Nadia dan temannya. Langkah kaki belum begitu lama melaksanakan tugasnya tetapi manusia mulai berulah kembali.
Tepat di pintu keluar toilet itu, dirinya tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ruangan yang bergema seperti mendukung agar diriku dapat mendengar hal itu.
“Bekas luka diwajah bakal bikin jadi tambah jelek ga sih. Lagian lemah banget sampai gabisa ngelindungin bagian wajahnya.”
Terdengar suara dari dalam toilet, persis seperti suara yang baru saja menebarkan rasa kasihan padaku tadi.
‘Apa manusia memang harus hidup penuh dengan berpura-pura? Mereka banyak sekali berbicara omong kosong. Mengeluarkan perkataan rasa kasihan yang ternyata hanya basa-basi bohong. Itulah mengapa diriku sangat membenci hal itu.’
Mereka seperti menghayati peran sosok yang peduli. Tetapi diriku tak mau percaya hal itu karena mereka tak merasakan, pastinya mereka sebenarnya tidak peduli. Ingin ku dobrak pintu itu, berteriak, dan memukulnya hingga tak lagi berbicara tentangku. Tapi nyatanya tidak bisa. Hanya saja diriku terlalu penakut jika akan mendatangkan senjata bumerang yang lebih menyakitkan nantinya. Diriku yang selalu terdiam saat mendengarkan kata-kata menyakitkan. Selalu berpura-pura tak mendengarkannya adalah kebiasaanku. Tapi hal yang sangat aneh ialah diriku selalu mendengar hal itu dengan jelas walaupun tak mau.
Kini diriku duduk sejenak melihat ke luar jendela. Berharap kebahagiaan datang menjemput diriku pergi walaupun entah kapan.
“Wahh, Farahh datang juga kesini. Kamu ga cape habis tanding kemarin tetep latihan hari ini. Kalau aku sih udah biasa,” gadis bernama Mika datang dengan ceria mendekatiku.
“Pelatihhh! Kemarin maaf ya dapat juara 3, padahal sudah menyiapkannya dengan rajin, sudah berusaha sebaik mungkin tapi hasilnya agak mengecewakan,” ucap Mika pada sosok kekar yang baru saja datang mendekat.
“Kau sudah sangat baik, pasti ada kesempatan lain nanti. Aneh sekali anak serajin kamu dalam berlatih tidak bisa juara 1,” jawab ramah sang pelatih kickboxing itu.
“Tidak mungkin, juara 1 pas sekali untuk Farah. Dia sangat beruntung sekali kemarin. Padahal tidak ada yang menyangka dia akan menang,” balas Mika.
“Kau bahkan lebih pantas dibanding yang lain. Untuk Farah pertahankan dan pelajari teknik lebih baik seperti Mika jangan hanya bermodal beruntung di pertandingan selanjutnya,” pelatih itu mengakhiri percakapan dan segera pergi.
Lagi-lagi diriku hanya bisa tersenyum saja. Tidak ada tenaga untuk melawannya atau membela diriku sendiri. Tidak ingin memiliki saingan sama sekali. Tetapi Mika selalu mendekatinya dan merayu orang-orang agar dirinya dianggap lebih hebat dibanding denganku. Padahal aku percaya tujuan setiap orang berbeda. Jadi tak usah repot-repot menjatuhkan orang lain sama sekali.
‘Rajin? Mika bahkan hanya berlatih lebih lama dibanding yang lain pada saat ada pelatih saja. Juara 1 karena beruntung? Mereka bahkan tidak melihat keseharianku. Tidak ada orang yang tau keseriusanku dalam berlatih. Konyol sekali!’
“Oiya! Farahhh maaf sekali ini saja, bisakah kau menggantikanku bersih-bersih hari ini. Tanganku sangat sakit karena terkilir,” mohon Mika padaku.
“Tapi…,”
“Ayolah kita kan teman, masa gamau nolong sih dahhh, tolong bantu ya!”
Tanpa jawaban yang pasti dariku, mereka selalu menganggap diriku menyetujuinya. Menolak pun tak dihiraukan. Terkadang diriku pun seperti dibawah sadar prihatin pada mereka dan pada akhirnya membantu. Basa-basi merasa tidak enak selalu kudengar walaupun diriku tau mereka hanya sedang berpura-pura.
“Biar ku bantu kak, pasti cape sekali karena baru kemarin selesai pertandingannya. Luka kakak juga belum hilang pasti sakit banget deh. Harusnya kakak istirahat saja, kalo aku pasti sibuk self reward jika habis memenangkan pertandingan kaya kakak. Kak Mika juga tadi pergi untuk makan-makan, tadi pasti bohong tangannya terkilir,” Zahra, perempuan yang terlihat kuat, begitu aku memandangnya. Dia merupakan junior yang baru memasuki dunia kickboxing, aku bahkan belum pernah mengobrol sama sekali dengannya. Tapi diriku sangat berterima kasih padanya hari ini.
Mendengar kata-kata asing itu membuat diriku menjadi tenggelam dalam pikiran.
‘Benar juga mengapa diriku tidak pernah memberikan hadiah atas usahaku. Bahkan jika kado untuk orang lain aku rela menghabiskan uang sekalipun menyulitkanku. Tapi belum pernah keinginan kecil dalam diriku aku wujudkan. Sudah beribu kali hati kecilku seperti ingin membeli ice cream dengan cone itu. Walaupun pada akhir tak ku wujudkan dan lebih memilih barang lain yang lebih ku butuhkan. Karena aku takut jika ku belikan nanti tidak bisa menyimpan uang untuk kebutuhan yang lain. Bahkan ice cream itu tidak sampai harga 15.000.’
‘Sebenarnya jika dipikirkan diriku ingin sekali berkata bahwa aku lelah. Tetapi tak ada yang mengijinkanku lelah, selalu dituntut menjadi pekerja keras. Aku ingin sekali ketika sakit diriku beristirahat. Dan ingin sekali menjalani hidup dengan meraih impianku bukan impian orang lain. Mewujudkan keinginan kecilku satu-persatu. Aku sendiri pun lelah tapi mengapa tetap membantu orang lain? Mungkin karena hanya berusaha untuk menjadi orang baik. Tapi sepertinya sekarang ini aku terlalu sakit hingga ingin istirahat sejenak, diriku sendiri lah yang harus kubantu kali ini. Luka dan memar di tubuh yang selalu ku alami setelah pertandingan, sebenarnya sakit sekali kurasakan. Tetapi diriku tidak peduli akan rasa sakit itu karena orang lain juga tidak ada yang peduli padaku.’
Banyak sekali hal baru yang kusadari dan pelajari. Bahwa telah lama tak memperhatikan diriku sendiri. Bahkan sekalipun orang lain menyakiti, membenci, dan tidak peduli padaku, diriku bersikap acuh berlagak kuat padahal nyatanya tetap menyakitkan juga. Tapi kesalahan besar yang ku alami ialah aku menyakiti, membenci, dan tidak peduli pada diriku sendiri. Aku tidak peduli jika diriku sakit, terluka, ataupun lelah. Sepertinya bukan hal mudah dan butuh waktu untuk merubah hal itu tapi aku mau mencobanya. Ini demi diriku sendiri. Kali ini aku hanya akan memikirkan diriku terlebih dahulu. Dan menyembuhkan sakit yang tak bisa terlihat ini. Berusaha menjadi baik pada semua orang dan memendam segalanya mungkin bukan hal mudah. Tapi menjadi manusia jahat bukanlah pilihan lain yang benar, tidak tertarik diriku pada opsi ini anehnya. Kini aku tau harus menyembuhkannya, tidak tau harus dari mana tapi akan ku coba.
“Halo pelatih, ini Farah, aku akan pensiun, sudah cukup perjalananku disini dan akan mencari perjalanan di tempat yang kuinginkan,” aku meraih ponsel dan menyampaikan keputusanku.