[NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 1

Meski hanya mengenakan daypack, tetap saja Rafli cukup kelelahan. Apalagi kabut turun menyelimuti tanah datar yang dia telusuri. Pandangannya terbatas, sehingga area itu seolah tak berujung. Dia tak tahu seluas apa daerah tersebut. Angin berembus membawa hawa dingin yang menusuk kulit walau sudah memakai baju yang dilapisi jaket. Beberapa tumbuhan edelweis jawa setinggi hampir sepundak orang dewasa itu berada di sisi kanan dan kiri area tersebut. Tumbuhan yang biasa disebut 'Bunga Abadi' dan memiliki nama ilmiah Anaphalis javanica itu bergoyang karena semilir angin. Rerumputan hijau dan kekuningan yang tumbuh sembarang juga tak bisa diam karena sepoi-sepoi sang bayu itu.
Rafli masih agak tersengal-sengal. Cowok berkulit putih dan berambut pendek rapi ini tak kuasa mengejar atau menyusul Badri dan Jaya yang berjalan di depannya setelah turun dari Puncak Gunung Arjuno. Dari mulutnya keluar uap-karena suhu dingin-seperti sedang merokok. Dia membungkuk dengan kedua tangan menekan pada kedua lutut. Dia tampak seperti sedang rukuk.
"Rafff ...."
"Rafliii ...."
Samar-samar Rafli mendengar ada yang memanggilnya. Dengan gerakan perlahan dia menegakkan tubuhnya. Kabut masih tebal. Pandangannya hanya bisa melihat sekitar tiga meter di depannya. Dia memicingkan kedua matanya dengan harapan bisa melihat lebih teliti.
"Rafliii ...."
Kembali suara yang terdengar lirih, serak, dan berat itu masuk ke telinga Rafli. Dia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tidak mendapati siapa pun. Dia hanya mendapati tumbuhan-tumbuhan Bunga Abadi yang bergerak ditiup angin dalam rangkulan tebal kabut yang dingin.
"Rafliii ...."
Kini ada keyakinan yang muncul dalam benak Rafli kalau sumber suara itu dari arah belakang. Maka kemudian dia memutar tubuhnya. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati sesosok makhluk dengan tinggi delapan meter berdiri sekitar sepuluh langkah di depannya. Dalam kabut putih, makhluk yang lebar dan tampak kaku itu tidak terlihat bagaimana ekspresi wajahnya. Sampai kemudian kedua tangan makhluk itu bergerak kaku, barulah Rafli sadar bahwa makhluk itu seperti perwujudan sesosok wayang. Meski ada keyakinan akan terkaannya itu, tapi Rafli tidak tahu siapa sosok tokoh perwujudan wayang tersebut.
Lantas, yang terjadi kemudian degup jantung Rafli berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Kini bukan hanya kabut yang menyelimutinya, tapi juga ketakutan yang menggetarkan seisi dadanya. Dia mundur beberapa langkah. Namun makhluk itu maju dengan gerakan kaku. Dengan cepat Rafli membalikkan badan dan berniat berlari, tapi baru saja berputar dia malah terjatuh. Dia tidak tahu bagaimana bisa kedua kakinya tidak dapat digerakkan.
Sementara makhluk itu terus mendekat walau masih diselubungi kabut. Makhluk itu berjalan perlahan seperti menyeret kakinya. Suara gesekan langkahnya seperti isyarat pada Rafli bahwa nyawanya terancam.
Sedangkan Rafli tak mampu berbuat apa-apa, bahkan lidahnya mendadak kelu dan mulutnya tak mampu berteriak. Hanya air mata menggenang di pelupuk matanya sebagai ungkapan kengerian yang teramat sangat. Sialnya, dia tidak bisa memejamkan kedua matanya. Dia seolah dipaksa melihat makhluk besar yang kaku itu. Sampai beberapa detik kemudian ....
GONGGG ...!
Suara gong yang besar itu menyadarkan Rafli yang ternyata tertidur di bangku pojok dalam gerbong kereta. Tepatnya di sebelah toilet. Cowok berusia dua puluh satu tahun ini mengusap wajahnya yang berminyak dan dahi yang berkeringat dingin. Meski masih ada ketakutan, setidaknya sekarang bisa bernapas lega karena berada dalam kereta Jayabaya jurusan Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Stasiun Gubeng Surabaya.
"Kenapa lu? Kayak kaget gitu?" tanya Badri yang duduk di sebelah kiri Rafli. Cowok berkulit putih dan berambut ikal sepundak ini terkekeh.
"Mimpi dikejar mantan kali," imbuh Jaya, lalu cowok berkulit sawo matang ini ikut terkekeh. Dia duduk di depan Rafli, sementara di sebelahnya ada seorang perempuan paruh baya yang sedang memejamkan mata.
Rafli tidak menanggapi candaan kedua temannya. Dia hanya menelan ludahnya yang kelu. Dia kemudian meraih botol berisi air mineral yang sejak tadi ditaruhnya di meja kecil yang menempel di dinding kereta di bawah jendela. Diminumnya air putih itu perlahan.
"Mantan lebih serem daripada setan, ya?" kata Badri membalas perkataan Jaya. Cowok berusia dua puluh lima tahun ini melihat Jaya mengangguk setuju.
"Iya," sahut Jaya sambil memperbaiki letak topi yang dia kenakan. "Udahlah, Raf, gak usah ingat-ingat si Sindi. Lupain dia. Sekarang waktunya kita liburan senang-senang," sambungnya melihat Rafli yang menaruh botol kembali ke meja.
"Gue-" Rafli kembali menelan ludahnya. "Gue ... cuma ... perasaan gue kok gak enak, ya?" tandasnya kemudian.
"Itu cuma perasaan lu doang," sahut Badri.
"Lu begitu mungkin karena mabok perjalanan," kata Jaya menambahkan disudahi dengan tertawa pelan.
Rafli tak lagi menanggapi perkataan Badri dan Jaya. Sejak kedua temannya itu mengajaknya mendaki Gunung Arjuno, entah bagaimana dia memilik firasat yang tidak mengenakkan. Dia bahkan mengalami mimpi-mimpi buruk. Seperti ada pertanda yang tidak baik. Hanya saja dia enggan menceritakan itu kepada Badri dan Jaya. Dia khawatir malah jadi bahan ledekan atau ejekan. Dia malu mengutarakan pendapatnya perihal perasaan dan mimpi-mimpi buruknya. Maka kemudian dia seperti terpaksa ikut pendakian karena merasa tidak enak dalam pertemanan.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube : Storial co