Meng Bo yang hidup pada abad ke 17, tepatnya di akhir masa kejayaan Dinasti Ming, memiliki seorang ibu yang sudah renta dan sulit makan, padahal ibunya sangat suka makan daging. Semakin hari sang ibu semakin tidak berdaya dan tidak bisa mengunyah makanan lagi. Meng Bo yang sangat mencintai ibunya itu merasa sangat terpukul melihat penderitaan sang ibu. Dia pun duduk didepan rumahnya, termenung dan berpikir bagaimana caranya agar ibunya bisa kembali makan daging yang enak.
Tak sengaja matanya tertuju pada tetangganya yang sedang sibuk menumbuk beras ketan untuk membuat mochi dan membentuknya bulat-bulat. Terinspirasi dari mochi, Meng Bo langsung mengeksekusi buah pemikirannya. Daging yang ada didapur ia tumbuk sampai halus seperti membuat mochi. Lalu ia bentuk bulat-bulat dan direbus dalam air panas sampai mengambang.
Setelah percobaannya itu selesai, Meng Bo menghidangkan bakso ciptaannya itu kepada sang ibu dan wanita yang sudah sakit-sakitan itupun lahap menyantapnya. Meng Bo merasa sangat bahagia karena akhirnya sang ibu bisa kembali makan daging.
Mengetahui soal kelezatan bakso ciptaan Meng Bo, masyarakat kota Fuzhou tempat Meng Bo tinggal pun meminta resep bakso ciptaan Meng Bo dan mencobanya sendiri di rumah. Akhirnya bakso menjadi salah satu menu pilihan masyarakat Tiongkok yang tidak hanya terbatas di kota Fuzhou. Sampai akhirnya bakso dikenal di Indonesia melalui pedagang Tionghoa yang datang ke Indonesia.
Lalu, kenapa diberi nama bakso? Meng Bo pertama kali membuat bakso dari daging babi yang dalam Bahasa Tiongkok adalah 'bak', lalu dia memasukkan bakso-baksonya kedalam kuah sup yang Bahasa Cinanya 'so'. Sehingga masyarakat Fuzhou kala itu menamainya bakso yang berarti sup daging babi.
Nama itu tidak berubah saat sampai di Indonesia walaupun bakso di Indonesia sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang kebanyakan tidak mengkonsumsi daging babi.