Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Ali Khomsan, menjabarkan nasi menjadi sumber karbohidrat dan protein sejak dulu. Ketika kebiasaan ini diganti, maka tubuh perlu penyesuaian.
Jika nasi diputus 1-2 minggu, maka tubuh akan merasa jetlag. Lain halnya dengan orang yang memang sudah terbiasa tidak makan nasi, seperti masyarakat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Mereka makan singkong yang dijadikan buliran mirip nasi sejak 1924. Kebiasaan ini keterusan sampai sekarang, sehingga mereka tak bisa menerima nasi.
Hal ini tidak masalah selama pengganti proteinnya setara dengan nasi. Misalnya orang Jawa terbiasa makan nasi pakai tahu dan tempe. Kemudian, kita ingin meniru orang Maluku makan sagu atau Papua dengan ubi jalar.
"Nah, mereka lauknya kan ikan atau protein hewani. Kalau kita makan sagu atau ubi jalar pakai tahu dan tempe, itu gak seimbang. Perbedaan proteinnya sangat jauh," katanya.
Jadi, mengubah nasi juga harus diperhatikan kandungan protein penggantinya ya.
Kita bisa mengganti nasi dengan sereal tinggi proteinnya. Seperti sereal jagung, gandum, dan beras. Bisa juga konsumsi sereal Quaker seperti di negara-negara maju.
Mereka justru menganjurkan sarapan dengan sereal yang dikombinasi protein hewani atau omelete. "Itu bagus, seimbang," ujar Ali.
Soal BAB yang jadi gak lancar saat gak makan nasi, itu bagian dari adaptasi tubuh. Tapi, kalau dilihat dari proses biokimianya, orang yang makan buah dan sayur harusnya lebih gampang BAB. Sebab, seratnya lebih bermakna terhadap proses pembuangan.
"Kita bisa mengonsumsi jus buah dan sayur setiap pagi untuk mendorong proses pembuangan lebih lancar," ujarnya. Sama halnya dengan orang yang terbiasa BAB kalau sudah minum kopi. Ini hanya soal kebiasaan dan efek psikologis saja. Kalau sudah dibiasakan 1-2 pekan, maka akan kembali normal lagi.
Menarik ya "eskperimen" tubuh terhadap pola konsumsi baru. Kamu terbiasa makan nasi atau gak nih? Menurut kamu, tantangan apa lagi yang harus dicoba penulis? Tulis di kolom komentar ya.