Ilustrasi ketupat (unsplash.com/mufidpwt)
Ada banyak sekali makna, filosofi, dan sejarah di balik bentuk persegi dari ketupat. Dalam rumpun Bahasa Austronesia, kata ketupat merupakan turunan dari kata "epat" yang artinya empat.
Hal ini dikarenakan sudutnya ada empat yang melambangkan kiblat papat lima pancer atau empat penjuru mata angin dan satu pusat. Filosofi tersebut juga dimaknai ke mana pun kaki manusia melangkah, tujuan hanya satu, yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala.
Konon, ketupat sudah ada sejak zaman Hindu-Budha di Nusantara. Masyarakat pesisir dan agraris menggunakan nyiur atau daun kelapa yang masih muda sebagai pembungkus beras sebelum dimasak. Selanjutnya, ketupat disajikan dan disantap bersama sebagai simbol atau ungkapan syukur atas rejeki dan hasil panen yang didapatkan.
Ketupat makin dikenal pada masa penyebaran agama Islam di Nusantara. Bahkan, makanan ini menjadi simbol perayaan Hari Raya Islam sejak masa pemerintahan Kesultanan Demak, sekitar abad ke-15 Masehi. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "kupat," akronim dari "ngaku lepat" atau mengaku bersalah.
Sunan Kalijaga juga memberikan makna yang mendalam untuk ketupat. Empat sisi ketupat dimaknai sebagai laku papat atau empat perilaku, yaitu “Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan." Kata Lebaran bermakna membuka lebar pintu maaf atau memaafkan kesalahan orang lain.
Sementara itu, Luberan berarti memberi sedekah pada orang yang membutuhkan, Leburan berarti melebur dosa yang dilakukan selama satu tahun terakhir, dan Laburan berarti menyucikan diri. Sunan Kalijaga juga memperkenalkan acara Lebaran Ketupat yang jatuh pada tanggal 8 Syawal atau seminggu setelah Hari Raya Idulfitri.