Taxi Driver (dok. Columbia Pictures/Taxi Driver)
Terdapat tiga jenis monolog yang biasa digunakan dalam film. Ketiga jenis monolog tersebut memiliki konteks serta cara penyampaian yang berbeda. Simak penjelasannya berikut ini.
Soliloquy adalah jenis monolog yang disampaikan oleh suatu karakter yang ditujukan pada dirinya sendiri. Berbeda dengan berbicara dengan diri sendiri, soliloquy hadir dalam bentuk pidato panjang yang berfokus pada bagaimana si karakter mencoba menganalisis sebuah pemikiran, emosi, maupun konflik yang tengah dihadapinya.
Soliloquy juga dikenal sebagai monolog paling intimm karena karakter bersikap lebih jujur dan rapuh pada diri mereka sendiri. Salah satu soliloquy paling populer dalam sejarah ada dalam pentas drama karya Shakespeare berjudul Hamlet. Diawali dengan kalimat ikonik to be or not be, monolog tersebut menyoroti bagaimana Hamlet merenungkan esensi dari hidup dan mati serta kenapa banyak cobaan terlalu sulit untuk dihadapi.
Berbanding terbalik dengan soliloquy, internal monologue terjadi ketika sang karakter menyampaikan pemikirannya, tapi tidak dengan secara lantang. Dalam film, internal monologue disampaikan dalam bentuk voice over pada montage–adegan yang dibuat dari kumpulan adegan berbeda namun berurutan dan berkesinambungan.
Monolog Cool Girl dalam Gone Girl besutan David Fincher merupakan salah satu contoh internal monolog yang mampu mengajak penontonnya memahami apa yang tengah dirasakan dan dipikirkan oleh si karakter. Kamu pernah tahu, kan?
Dramatic monologue sendiri adalah monolog yang disampaikan suatu karakter pada karakter lain. Dalam film yang digarap dalam format breaking the fourth wall, dramatic monologue biasanya disampaikan langsung oleh si karakter pada penontonnya.
Dramatic monologue bisa dibilang jenis monolog yang paling sering digunakan. Meskipun durasinya cukup panjang, adegan yang dihasilkan terlihat begitu natural dan emosional. Seperti dalam film Nocturnal Animals besutan Tom Ford, upaya Edward dalam mempertahankan pernikahannya dengan sang istri meskipun tahu akan berakhir dengan buruk terlihat begitu jujur dan sukses mengaduk-aduk emosi penontonnya.
Monolog yang baik mampu menarik simpati penonton melalui informasi dari suatu karakter demi menggerakan cerita di waktu bersamaan. Meskipun terkesan tidak terlalu penting, monolog berperan cukup krusial dalam memberikan nyawa pada sebuah film.