Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
cuplikan film Drugstore Cowboy
cuplikan film Drugstore Cowboy (dok. Criterion/Drugstore Cowboy)

Cult-classic jadi salah satu frasa yang belakangan naik daun dalam konteks budaya pop. Ia sering disederhanakan sebagai label untuk film-film rilisan lawas yang belakangan populer lagi. Namun, bila kamu perhatikan tidak semua film bisa masuk kategori cult-classic. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.

Mulai dari natur cerita, gaya sinematik, sampai relevansinya. Apa saja dan bagaimana sebuah film klasik bisa mendapatkannya? Berikut detail lengkapnya tentang film cult-classic!

1. Punya penggemar setia yang mengamini keunggulannya

cuplikan film Muriel's Wedding (dok. Miramax/Muriel's Wedding)

Kriteria pertama yang harus dimiliki film sebelum dapat label cult-classic adalah keberadaan penggemar setia. Ini merujuk pada kata cult yang berarti ada pihak-pihak yang “mengultuskan” film tersebut. Namun, ia tidak sama dengan film cult biasa seperti Harry Potter dan Star Wars misalnya. Untuk dapat label classic di belakang kata cult, film berarti harus sudah dirilis pada periode yang lama, yakni setidaknya sudah melebihi 1 dekade.

Tak heran, film-film dengan label ini biasanya datang dari era 1960 hingga 2000-an. Sementara, film 2010-an masih berstatus calon. Periode perilisan ini penting karena mengindikasikan relevansi film tersebut. Apakah setelah beredar selama beberapa dekade, film-film lawas tersebut masih punya penggemar setia alias “sekte” yang masih memuji keunggulan mereka?

2. Cult-classic biasanya merujuk pada film-film eksperimental

cuplikan film Pulp Fiction (dok. Miramax/Pulp Fiction)

Ciri khas film cult-classic lainnya adalah natur cerita dan gaya sinematiknya yang biasanya eksperimental. Ini yang membuat mereka tidak begitu populer pada awal perilisan. Mereka adalah film-film yang dibuat tanpa komitmen untuk mengakomodasi permintaan pasar mainstream. ini yang membuat film-film seperti Titanic (1997), Citizen Kane (1941), dan The Godfather (1972) tidak bisa dimasukkan kategori cult-classic.

Mereka memenuhi kriteria cult, tetapi tidak serta merta punya elemen yang mengindikasikan gaya eksperimentalis dalam film. Sebaliknya, Eraserhead (1977), Fight Club (1999), American Psycho (2000) dan Pulp Fiction (1994) bisa masuk dalam kategori cult-classic karena keberanian kreatornya memakai pendekatan-pendekatan yang nyeleneh atau nonkonvensional untuk ukuran film yang dirilis pada era itu. Entah dari gaya berceritanya, teknik pengambilan gambarnya, atau penggambaran karakter dan pesan moralnya.

Fight Club dan American Psycho memenuhi kriteria ini karena mengkritisi maskulinitas toksik dan kapitalisme. Sementara Eraserhead dan Pulp Fiction bisa dapat label ini karena natur bercerita mereka yang tidak seperti film-film arus utama. Yakni, mempopulerkan penggunaan plot nonlinear dan elemen surealis dalam pembuatan film.

3. Pesan dan legasinya melampaui zaman

cuplikan film Jennifer's Body (dok. 20th Century Fox/Jennifer's Body)

Namun, sebelum bisa resmi dapat label cult-classic, film juga harus memenuhi kriteria terakhir, punya legasi yang melampaui zaman. Pulp Fiction misalnya menginspirasi banyak sineas untuk meniru gaya bercerita nonlinear. Film lainnya seperti Midnight Cowboy (1969), Paris is Burning (1990), Drugstore Cowboy (1989), dan My Own Private Idaho (1991) pun memenuhi kriteria ini karena selain eksperimentalis, mereka berhasil menyampaikan pesan yang melampaui zaman seperti eksplorasi pertemanan antarlelaki, eksistensi komunitas LGBTQ+, dan dilema adiksi.

Sinema cult-classic lain seperti Jennifer’s Body (2009), Thelma & Louise (1991), Muriel’s Wedding (1994), Drop Dead Gorgeous (1999), Heathers (1988) bicara feminisme ketika belum banyak film yang melakukannya saat mereka dirilis. Intinya, film-film yang dapat cult-classic biasanya berhasil “lulus sensor” penonton masa kini yang lebih progresif dan melek. Itulah mengapa kelayakan beberapa film lawas legenda seperti Bully (2001), Buffalo ‘66 (1998), dan Sixteen Candles (1984) dapat label cult-classic masih jadi perdebatan. Mereka memang punya penggemar setia dan dikenal eksperimentalis, tetapi banyak aspek di dalamnya yang dianggap mengganggu atau tak lagi relevan pada masa kini. Seperti eksploitasi terhadap aktor di bawah umur dan mengandung candaan seksis atau misoginis.

Tidak ada pakem pasti tentang film cult-classic sebenarnya. Ada faktor subjektivitas dan konsensus yang berperan dalam penentuannya. Namun, kalau boleh merangkum garis besarnya, tiga kriteria tadi bolehlah disebut yang paling mencolok.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team