Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Happiness film
Happiness (dok. Criterion/Happiness)

Intinya sih...

  • Welcome to the Dollhouse (1995): Film coming of age yang melenceng dari film remaja pada umumnya, memotret tantangan menjadi bocah SMP.

  • Happiness (1998): Film komedi off-beat dengan muatan isu kontroversial, mengingatkan pada karya Lars Von Trier dan Michael Haneke.

  • Dark Horse (2011): Cerita tentang pria 30 tahunan yang sulit disukai, pertanyaannya, apa motif sebenarnya?

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Punya resolusi nonton lebih banyak film indie, tetapi belum terealisasi sampai sekarang? Tenang, kamu bisa merealisasikannya dengan coba nonton film-filmnya Todd Solonz. Ia adalah sutradara Amerika yang sepertinya punya spesialisasi di genre komedi. Bukan komedi biasa, Solondz lebih tepatnya sering bikin film komedi off-beat, yakni yang agak melenceng dari pakem tradisional alias eksentrik dan nonkonvensional.

Sebelum A24 merangsek ke ranah arus utama, Solondz sudah bikin film-film eksentrik itu. Penasaran? Ini 4 film komedi off-beat garapannya yang bisa kamu jadikan sampel uji.

1. Welcome to the Dollhouse (1995)

Welcome to the Dollhouse (dok. Sony Pictures Classics/Welcome to the Dollhouse)

Genrenya sih coming of age, lakonnya pun bocah 12 tahun, tetapi Welcome to the Dollhouse lebih cocok dikonsumsi penonton yang usianya lebih matang. Film ini bahkan tidak berakhir melegakan layaknya film-film remaja pada umumnya. Kalau mau disandingkan, ia mirip Eighth Grade yang juga bikin penonton tercekat di beberapa adegan.

Film ini memotret tantangan jadi bocah SMP yang merupakan peralihan dari masa anak-anak ke era remaja. Ini masih diperparah fakta bahwa si lakon adalah anak tengah yang cenderung diabaikan di rumah dan apesnya dirundung di sekolah. Performa Heather Matarazzo (The Princess Diaries, Scream 3) sebagai protagonis utama di usianya yang masih 11 tahun juga wajib diapresiasi.

2. Happiness (1998)

Happiness (dok. Criterion/Happiness)

Tiga tahun berselang, Solondz kembali merilis film komedi off-beat berjudul Happiness. Kali ini ia bakal membuat kompas moralmu goyah lewat balada 3 saudari dan beberapa orang di hidup mereka masing-masing. Semuanya ternyata punya rahasia mencengangkan yang bikin hidup mereka kompleks dan tidak tertebak. Ada yang diam-diam punya kelainan seksual, pembunuh berdarah dingin, tidak puas dengan hidupnya meski punya karier gemilang, dan lain sebagainya.

Suram, agak ngeri, tetapi dibalut komedi di sana-sini. Pada awal perilisannya, Happiness sempat dapat penolakan karena muatan isunya yang kontroversial, tetapi orang mulai mengapresiasi keberanian Solondz mengekspos sisi gelap sifat manusia. Film ini bakal mengingatkanmu pada karya-karyanya Lars Von Trier dan Michael Haneke yang juga sering dicap kontroversial dan mengganggu.

3. Dark Horse (2011)

Dark Horse (dok. Goldcrest Films International/Dark Horse)

Dark Horse gak kalah off-beat alias eksentrik. Seperti biasa, Todd Solondz memilih protagonis yang susah disukai penonton. Abe (Jordan Gelber) diceritakan sebagai pria 30 tahunan yang masih tinggal di rumah orangtua dan bekerja di perusahaan milik ayahnya. Gak hanya itu, ia juga sosok yang uring-uringan dan suka menunda pekerjaan gara-gara memprioritaskan ego dan hobinya mengoleksi mainan.

Sampai akhirnya, ia bertemu Miranda (Selma Blair), tetangga sebayanya yang mengalami depresi dan nekat menginisiasi hubungan romantis. Pertanyaannya, apa motif Abe yang sebenarnya? Apakah ini murni karena cinta atau ia hanya ingin membuktikan kalau dirinya mampu?

4. Storytelling (2001)

Storytelling (dok. New Line Cinema/Storytelling)

Jangan berharap kenyamanan saat nonton film-filmnya Todd Solonz. Dalam Storytelling, kamu akan dipertemukan dengan karakter-karakter yang moralnya patut dipertanyakan. Film ini dibagi jadi dua babak yang tak berkaitan, tetapi sama-sama mengganggu. Pada babak pertama, Selma Blair didapuk jadi mahasiswi pascasarjana yang memanfaatkan teman kencannya untuk mengulas tulisan-tulisannya.

Di cerita kedua, seorang sineas yang diperankan Paul Giamatti mengalami pergumulan batin hebat saat hendak bikin film dokumenter tentang keluarga bahagia. Bukannya dapat yang ia harapkan, sang sutradara justru menyingkap rahasia gelap soal keluarga itu. Seperti biasa, Solondz akan selalu menyuguhi penonton dengan karakter yang susah disukai. Mereka bisa saja rasis, misoginis, homofobik, pelaku penyimpangan, dan lain sebagainya.

Mengingat temanya cukup kontroversial, kebijakan penonton sangat diharapkan saat mengonsumsi film-filmnya Todd Solondz. Kemasannya boleh komedi, tetapi pada intinya, Solondz sedang menguji daya pikir kritis dan kompas moralmu. Berani nonton?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team