Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mammoth
Mammoth (dok. Memfis Film/Mammoth)

Mengaku penggemar film coming of age, tapi belum pernah nonton dengar nama Lukas Moodysson? Mungkini pertanda bagimu untuk menilik karya sinematiknya. Meski tak setenar Ingmar Bergman dan Ruben Ostlund, Moodysson disebut salah satu sutradara yang berhasil bikin sinema Swedia mendunia.

Ia bahkan sering bikin proyek lintas negara. Gak heran kalau karyanya tak hanya berlatar Swedia. Penasaran? Ini lima film terbaik Lukas Moodysson yang bisa jadi modalmu berkenalan dengannya.

1. Lilya 4-ever (2002)

Lilya 4-ever (dok. TrustNordisk/Lilya 4-ever)

Lilya 4-ever memang bukan film debut Moodysson, tetapi ia disebut sebagai karya terkuat dari sang sutradara sejauh ini. Moodysson menggunakan dua latar sekaligus di film ini, Swedia dan satu negara bekas Soviet. Lakonnya Lilya (Oksana Akinshina), remaja yang terpaksa jadi pekerja seks setelah ditelantarkan ibunya. Tak cukup sampai di situ, kemalangan kembali menimpanya saat ia ditipu kekasihnya yang menjanjikan kehidupan lebih baik di Eropa Utara. Film ini baiknya tidak kamu tonton saat suasana hati buruk, plotnya cukup kelam dan depresif.

2. We Are the Best! (2013)

We Are the Best! (dok. TrustNordisk/We Are Best!)

Jika ingin film yang lebih ringan dan ceria, coba We Are the Best! yang dirilis Moodysson pada 2013. Film coming of age ini berkutat pada 3 bocah SMP yang nekat membentuk band punk, padahal mereka hanya punya satu personel yang paham musik. Namun, petualangan mereka jadi bocah yang enggan berkompromi cukup menarik. Apalagi, mereka datang dari keluarga yang beragam. Ada yang tinggal bersama ibu tunggal dan terpaksa bersikap lebih dewasa dari usia sebenarnya. Satu lagi besar di tengah keluarga agamais yang membuatnya ragu-ragu untuk nongkrong bareng 2 teman barunya itu.

3. Mammoth (2009)

Mammoth (dok. Memfis Film/Mammoth)

Mendapuk dua nama tenar sebagai protagonis utama, Mammoth bisa dibilang proyek terbesar Lukas Moodysson sejauh ini. Ia mempertemukan Michelle Williams dan Gael Garcia Bernal jadi sepasang suami istri kelas atas yang tinggal di New York. Mereka punya satu anak yang jarang mereka urus langsung karena kesibukan masing-masing. Untuk membantu mengasuh putri semata wayang mereka, pasutri ini merekrut pengasuh profesional asal Filipina. Kebiasaan ini bikin sang anak lebih dekat dengan si pengasuh dan membuat pasutri itu dilanda dilema. Di sisi lain, dilema juga menghantui mereka dalam pekerjaan. Moodysson sedang mengajak kita mengamati kepelikan hidup manusia di tengah sistem ekonomi kapitalisme dan maraknya globalisasi.

4. Show Me Love (1998)

Show Me Love (dok. Memfis Films/Show Me Love)

Show Me Love adalah film debut Moodysson yang mungkin menarik perhatianmu. Mengusung tema queerness (keberagaman gender dan orientasi seksual) dan coming of age sekaligus, Show Me Love akan memperkenalkanmu pada dua remaja perempuan bernama Agnes (Rebecka Liljeberg) dan Elin (Alexandra Dahlstrom). Keduanya punya sifat yang bertolak belakang, tetapi Agnes diam-diam menaruh rasa pada teman sekelasnya itu. Ini jelas bikin hubungan mereka pelik, perpaduan antara dilema moral, keinginan untuk divalidasi teman sebaya, dan berbagai ketidaknyamanan akibat fase pubertas.

5. Together (2000)

Together (dok. Memfis Films/Together)

Together adalah sebuah film satire yang dibuat Moodysson untuk menilik sisi lain ideologi komunisme. Dianggap terlalu utopis dan mustahil diaplikasikan dalam kehidupan nyata, sekelompok orang nekat membangun komunitas kiri absolut mereka sendiri di Stockholm pada 1970-an. Penghuninya beragam dan unik. Elisabeth (Lisa Lindgren) adalah ibu dua anak yang pindah ke sini setelah jadi korban KDRT suaminya. Goran (Gustaf Hammarsten) adalah saudara Elisabeth yang cinta damai dan selalu menghidari konflik sampai-sampai mengorbankan kepentingannya sendiri. Ditambah beberapa karakter pendukung lain yang latar belakang dan wataknya tak kalah unik.

Kalau bisa dirangkum, film-film Moodysson punya satu kesamaan. Kesannya menenangkan, gak banyak dialog dan aksi, tetapi ada hal mengganggu dan menghantui yang menyusup di tiap adegannya. Sekali nonton karyanya, kamu mungkin bakal ketagihan. Gaya sinematiknya cocok buat memuaskan penggemar film dengan pendekatan naturalistik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team