Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Linda Linda Linda
Linda Linda Linda (dok. Asian Film Archive/Linda Linda Linda)

Intinya sih...

  • Linda Linda Linda (2005) mengisahkan 4 siswi SMA di Jepang yang tergabung dalam band punk-rock, mempromosikan kebebasan berekspresi perempuan.

  • We Are the Best! (2013) menceritakan tiga bocah SMP di Swedia yang nekat bikin band punk-rock, berjibaku dengan diskriminasi dan intimidasi.

  • Times Square (1980) mengekor pertemuan dua perempuan muda di New York, menemukan penghiburan lewat lagu-lagu punk-rock yang mereka tulis sendiri.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Feminisme bukan sebuah konsep tunggal yang hanya berfokus pada emansipasi perempuan. Ia adalah sebuah konsep yang kompleks dan punya irisan dengan berbagai isu, seperti kelas, ras, agama, disabilitas, dan lain sebagainya. Dalam sosiologi, istilah yang dipakai untuk menjelaskan itu adalah interseksionalitas, sebuah kerangka berpikir yang mengakui bahwa identitas seseorang itu tidak tunggal.

Gak heran kalau isu feminis jadi bagian yang tak terpisahkan dari skena musik punk-rock. Sebagai konteks, punk rock sendiri punya ikatan kuat dengan suara kelas pekerja dan ideologi kiri secara umum. Untuk tahu bagaimana kedua hal ini bisa beririsan, kelima film yang bahas irisan punk-rock dan feminisme berikut bisa kamu tonton. Ini baru hiburan yang mencerahkan!

1. Linda Linda Linda (2005)

Linda Linda Linda (dok. Asian Film Archive/Linda Linda Linda)

Linda Linda Linda berlakonkan 4 siswi SMA di Jepang yang tergabung dalam sebuah band punk-rock. Dua di antara mereka adalah anggota baru yang direkrut dadakan menggantikan anggota lama yang hengkang. Padahal, tiga hari lagi mereka harus tampil di sebuah kompetisi.

Parahnya, si vokalis baru adalah murid pertukaran dari Korsel yang belum fasih bahasa Jepang. Pesan feminisnya mulus dan tak dipaksakan, film ini secara tak langsung mempromosikan kebebasan berekspresi perempuan yang umumnya dibatasi berbagai stigma.

2. We Are the Best! (2013)

We Are the Best! (dok. TrustNordisk/We Are the Best!)

Mirip film sebelumnya, We Are the Best! bakal memperkenalkanmu pada tiga bocah SMP di Swedia yang nekat bikin band punk-rock. Dalam skena yang didominasi laki-laki itu, mereka harus berjibaku dengan berbagai diskriminasi dan intimidasi.

Gaya rambut mereka jadi bulan-bulanan dan ketiganya masih harus berebut slot latihan di studio dengan band lain yang meremehkan mereka. Seru, kocak, tetapi mengharukan pula. Terutama kalau kamu menilik relasi mereka dengan keluarga masing-masing.

3. Times Square (1980)

Times Square (dok. EMI Films/Times Square)

Sesuai judulnya, film ini mengekor pertemuan dua perempuan muda di Times Square, New York. Keduanya baru saja keluar dari panti rehabilitasi karena diduga mengalami masalah kesehatan mental.

Menariknya, kedua perempuan ini sebenarnya punya latar belakang berbeda. Nicky (Robin Johnson) adalah anak jalanan yang tak sengaja berurusan dengan polisi sebelum dikirim ke panti, sementara Pamela (Trini Alvarado) merupakan anak keluarga berada yang tak dapat dukungan emosional dari orangtuanya. Bersama, mereka menemukan penghiburan dan perasaan berdaya lewat lagu-lagu punk-rock yang mereka tulis dan aransemen sendiri.

4. The Runaways (2010)

The Runaways (dok. River Road Entertainment/The Runaways)

Judulnya diambil dari nama band nyata yang jadi nyawa cerita. The Runaways adalah sebuah band punk perempuan yang aktif selama beberapa tahun pada 1970-an. Mereka terbentuk pada 1975 lewat inisiasi Joan Jett yang berhasil menyakinkan seorang manager musik untuk memasangkannya dengan beberapa musisi lain. The Runaways pun terbentuk dan film ini memotret tahun-tahun formatif itu.

5. Ladies and Gentlemen, The Fabulous Stains (1982)

Ladies and Gentlemen The Fabulous Stains (dok. Paramount Pictures/Ladies and Gentlemen The Fabulous Stains)

Laura Dern, Diane Lane, dan Marin Kanter pernah disatukan dalam sebuah film tentang band punk perempuan yang dirilis pada 1982. Lakon utamanya, Corrine (Lane), remaja yang burnout karena terpaksa jadi tulang punggung keluarga sepeninggal ibunya.

Setelah gak sengaja melampiaskan amarahnya saat diwawancara sebuah kanal televisi yang menanyainya soal kondisi kerja selama resesi ekonomi ini, Corrine menemukan api dalam dirinya. Ia bersama dua sobat perempuannya tergerak menghidupkan kembali band punk-rock mereka yang mati suri.

Siapa sangka punk-rock dan feminisme ternyata punya keterkaitan yang cukup kuat. Gak heran film-film tentang band punk perempuan di atas menggugah dan mencerahkan. Ada proses pemberdayaan dan penemuan diri sendiri yang bikin siapa pun lega setelah nonton.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team