Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
The Autopsy of Jane Doe
The Autopsy of Jane Doe (dok. IFC Films/The Autopsy of Jane Doe)

Intinya sih...

  • Sleepers (1996): Babak kedua gagal membangun tensi seapik babak pertama.

  • The Autopsy of Jane Doe (2016): Jump scare-nya terlalu cheesy dan film berubah jadi horor generik di babak kedua.

  • The Place Beyond the Pines (2012): Babak ketiga lebih lambat dan mellow dibanding babak pertama dan kedua yang kaya adegan aksi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu menonton sebuah film yang seru banget di awal? Adegan pembukanya epik, tension building-nya keren, dan lajunya yang ideal. Namun, setelah masuk babak kedua dan ketiga, semuanya ternyata gagal memenuhi ekspektasi. Momentum yang tadi sudah terbentuk sempurna, jadi mubazir begitu saja.

Sembari mengingat, daftar film yang serunya di awal dan babak berikutnya biasa aja berikut mungkin bisa jadi trigger buat memorimu. Mari simak film apa saja yang dimaksud berikut ini.

1. Sleepers (1996)

Sleepers (dok. Warner Bros/Sleepers)

Harus diakui, Sleepers adalah salah satu film drama revans terbaik yang pernah dirilis Hollywood. Filmnya dibuka dengan narasi yang epik, memotret pertemanan 4 bocah yang berubah jadi tragedi gara-gara kenakalan yang mereka lakukan.

Pada paruh kedua, kita melompat belasan tahun setelah tragedi tersebut, tepatnya ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan hendak membalas dendam kepada orang-orang yang sudah menyakiti mereka saat di penjara anak-anak. Namun, pada momen ini, sutradara gagal membangun tensi seapik dan serapi babak pertama. Meski begitu, babak kedua adalah kunci plotnya, eksekusinya dianggap kurang.

2. The Autopsy of Jane Doe (2016)

The Autopsy of Jane Doe (dok. IFC Films/The Autopsy of Jane Doe)

The Autopsy of Jane Doe juga masuk daftar film yang serunya di awal dan kurang nendang saat masuk paruh kedua. Film ini dibuka dengan adegan investigasi TKP pembunuhan yang mencengangkan, lalu dilanjut dengan sekuens otopsi jenazah sesosok perempuan. Di sini, dua karakter utama kita berhasil bikin penonton terkesima dengan perdebatan dan pengetahuan mereka soal anatomi manusia.

Ketegangan memuncak perlahan saat mereka mulai menemukan keanehan demi keanehan, dan akhirnya kejadian supranatural pun muncul. Pada momen inilah, banyak penonton yang kecewa. Meski sebenarnya tetap tegang, seru, dan penuh misteri, gak sedikit yang menganggap jump scare-nya terlalu cheesy dan film pun berubah jadi horor generik.

3. The Place Beyond the Pines (2012)

The Place Beyond the Pines (dok. Focus Features/The Place Beyond the Pines)

The Place Beyond the Pines juga secara umum tergolong film yang superior. Pertentangan moral, pengemasan tensi, dan karakternya menyakinkan. Sayangnya, banyak yang kurang suka dengan babak ketiga film itu, tepatnya saat cerita beralih ke keturunan karakter utama di babak pertama dan kedua.

Diceritakan anak-anak ini harus menanggung dampak dari perbuatan orangtua mereka. Itu sebenarnya premis yang menarik, tetapi lajunya dibikin jauh lebih lambat dan ceritanya pun mellow. Berbeda jauh dengan babak pertama dan kedua yang lebih kaya adegan aksi.

4. Triangle of Sadness (2022)

Triangle of Sadness (dok. TIFF/Triangle of Sadness)

Dibuat dalam 3 babak, Triangle of Sadness berhasil menghipnotis penonton pada babak pertama dan kedua. Dua babak itu menyenggol kehidupan orang-orang kelas atas yang ternyata gak sesempurna kelihatannya, sontak sindirannya pun nampol dan bikin penonton tergelak.

Namun, pada babak ketiga, nuansa film jadi berubah drastis. Lebih suram dan serasa nonton film yang berbeda. Walaupun satirnya masih mengena, ternyata banyak juga yang tak terlalu suka dengan jalan cerita, apalagi adegan finalnya.

5. Hancock (2008)

Hancock (dok. Columbia Pictures/Hancock)

Premis Hancock cukup menjanjikan. Tidak seperti pahlawan super pada umumnya, Hancock, sang lakon, adalah alkoholik dan pesimis. Reputasinya buruk sampai seorang konsultan humas bersedia membantunya memperbaiki diri. Pada fase ini, kita disuguhi komentar sosial yang menampar dan sindiran-sindiran yang cerdas. Namun, saat masuk pertengahan film, sebuah twist dibongkar dan ini bikin film berubah haluan secara drastis dan momentum yang tadi sudah dibangun susah payah hancur lebur begitu saja.

Tentunya, ini hanya pendapat sebagian penonton. Kamu bisa punya pendapat yang berbeda. Mungkin saja babak kedua dan ketiga film-film di atas justru yang paling menarik buatmu. Jadi, gak perlu tersinggung atau marah. Namanya juga karya seni, pasti ada aspek subjektif di dalamnya. Menurutmu film apa lagi yang punya problem serupa?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team