Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
kaos band Nirvana
kaus band Nirvana (Pexels.com/Artūras Kokorevas)

Intinya sih...

  • Keragaman genre dan tren musik

  • Kita tidak menghargai musik layaknya pada masa lalu

  • Efek nostalgia dan kecenderungan kita mengingat musik-musik terbaik saja

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Seringkah kamu mendengar orang mengeluhkan kualitas musik masa kini dan bilang kalau tahun 1990-an dan awal 2000-an adalah era terbaik. Tak hanya 1-2 orang, ini adalah keluhan yang cukup umum sampai-sampai membuatmu penasaran tentang akurasi klaim itu?

Benarkah 2 dekade itu adalah masa-masa terakhir sebelum musik jadi menjemukan? Jangan-jangan ini hanya ilusi belaka? Mari telaah lebih jauh.

1. Keragaman genre dan ketidakterdugaan tren

potret band The Red Hot Chili Peppers pada 1992 (instagram.com/chilipeppers)

Tidak bisa dimungkiri tahun 1990—2000-an adalah era yang penuh keberagaman. Genre-genre baru lahir pada era itu, termasuk grunge dan electronic dance music (EDM). Dua genre itu saking populernya sampai menciptakan subkultur baru di kalangan anak muda. Pada era itu pula, banyak musisi yang tak ragu melakukan praktik genre bending (memadukan beberapa genre sekaligus). Seperti yang dilakukan Gorillaz, Linkin Park, The Red Hot Chili Peppers, sampai Crazy Town dan boy group Five.

Pada era itu, muncul pula berbagai grup musik dan solois pop yang mengubah industri musik selamanya. Britney Spears, Mariah Carey, Backstreet Boys, NSYNC’, Sugababes, Westlife, dan Spice Girls. Skena hiphop dan rap pun berkembang pesat dengan kemunculan sosok-sosok ikonik seperti Tupac Shakur, Missy Elliot, 50 Cent, dan Eminem. Musisi-musisi 90-an itu gak berlebihan disebut trendsetter karena memang memperkenalkan sesuatu yang benar-benar baru dan segar, beda jauh dengan musik 1960—1980-an.

2. Kita tidak menghargai musik layaknya pada masa lalu

ilustrasi CD album (Pexels.com/Arturo Añez)

Apalagi saat itu, kita tidak punya banyak kuasa untuk memilih lagu. Tren berkembang lewat televisi dan radio sebagai distributor utama lagu-lagu itu. Keterbatasan opsi itu sadar atau tidak membuat kita jadi lebih menghargai musik. Di sinilah faktor psikologis ikut andil. Pada era itu, kita tak bisa mengandalkan internet untuk mendengar lagu favorit. Mau tak mau, untuk mengaksesnya kamu harus membeli rilisan fisiknya (kaset, CD, vinil) atau mengajukannya ke stasiun radio untuk diputar.

Singkatnya, kamu perlu upaya lebih besar untuk bisa mengakses musik kesukaan dan ini yang bikin mendengar musik-musik pada masa itu terasa spesial dan punya kesan berbeda. Sejak disrupsi digital, musik mengalami perubahan posisi. Ia lebih sering didengar sebagai hiburan sampingan belaka. Musik didengar sambil mengerjakan hal lain seperti bekerja, belajar, dan mengemudi.

Meski musik masih ada di mana-mana, kita tak lagi menganggapnya hiburan primer. Kita lebih suka mendengarnya jadi pengiring sebuah video pendek di media sosial yang lebih memikat. Padahal, dahulu setelah membeli kaset atau CD album musisi favorit, orang akan meluangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan lagu-lagu itu tanpa distraksi.

3. Efek nostalgia dan kecenderungan kita mengingat musik-musik terbaik saja

dinding yang dipenuhi poster film dan musisi 90-an (Pexels.com/Paul CB)

Faktor psikologis lain yang sering disenggol adalah efek nostalgia. Menurut salah satu riset yang dihimpun Sedikides, dkk dalam jurnal Psychology of Music berjudul ‘The psychological benefits of music-evoked nostalgia’, orang punya kecenderungan mengingat dan lebih menyukai lagu-lagu yang populer saat mereka remaja. Sekarang coba kita telaah lebih jauh, siapa sebenarnya pelaku romantisasi musik 90—2000-an. Ada kemungkinan mereka adalah generasi milenial yang beranjak remaja pada dua dekade itu.

Bila kita bertanya pada generasi yang lebih tua, bisa saja era emas musik menurut mereka adalah dekade 1980-an. Ini mengindikasikan subjektivitas yang bisa diperdebatkan. Kita juga bisa saja terjebak mengingat lagu-lagu terbaik dari era itu dan melupakan kalau ada beberapa lagu yang flopped alias gagal. Sementara, sekarang kita mendengar semua lagu kekinian tanpa filter dan terburu-buru melakukan generalisasi.

Bagaimana menurut pendapat pribadimu? Apakah kamu salah satu yang percaya kalau era 1990—2000-an adalah dekade terbaik untuk sektor musik?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team