ilustrasi CD album (Pexels.com/Arturo Añez)
Apalagi saat itu, kita tidak punya banyak kuasa untuk memilih lagu. Tren berkembang lewat televisi dan radio sebagai distributor utama lagu-lagu itu. Keterbatasan opsi itu sadar atau tidak membuat kita jadi lebih menghargai musik. Di sinilah faktor psikologis ikut andil. Pada era itu, kita tak bisa mengandalkan internet untuk mendengar lagu favorit. Mau tak mau, untuk mengaksesnya kamu harus membeli rilisan fisiknya (kaset, CD, vinil) atau mengajukannya ke stasiun radio untuk diputar.
Singkatnya, kamu perlu upaya lebih besar untuk bisa mengakses musik kesukaan dan ini yang bikin mendengar musik-musik pada masa itu terasa spesial dan punya kesan berbeda. Sejak disrupsi digital, musik mengalami perubahan posisi. Ia lebih sering didengar sebagai hiburan sampingan belaka. Musik didengar sambil mengerjakan hal lain seperti bekerja, belajar, dan mengemudi.
Meski musik masih ada di mana-mana, kita tak lagi menganggapnya hiburan primer. Kita lebih suka mendengarnya jadi pengiring sebuah video pendek di media sosial yang lebih memikat. Padahal, dahulu setelah membeli kaset atau CD album musisi favorit, orang akan meluangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan lagu-lagu itu tanpa distraksi.