ilustrasi bangunan bioskop di Amerika Serikat (Pexels.com/Max Andrey)
Seperti kita tahu, Warner Bros. adalah produsen dan distributor banyak film ikonik, seperti Harry Potter, Batman, Superman, The Lord of the Rings, The Matrix, sampai Dog Day Afternoon. Itu belum termasuk film-filmnya sutradara favorit sinefil, macam Christopher Nolan dan Stanley Kubrick yang dikenal sebagai kolaborator setia Warner. Selama beberapa dekade masa aktif mereka, studio dan distributor film itu juga dikenal cukup akomodatif terhadap perkembangan sinema indie Amerika Serikat. Richard Linklater, Nancy Savoca, dan Ava DuVernay adalah beberapa sineas indie yang kariernya meroket berkat Warner.
Dengan akuisisi ini, Netflix berpotensi memegang hak siar dan distribusi film-film tersebut, termasuk film yang masih dalam proses produksi seperti The Odyssey karya Christopher Nolan yang dijadwalkan rilis pada 2026 dan biasanya tayang dalam format IMAX. Meski berdalih akan tetap melakukan penayangan perdana dan eksklusif di bioskop, pencinta dan pegiat film tidak serta merta percaya pada janji Netflix.
Sejak awal, Netflix hadir dengan prinsip menawarkan kenyamanan menonton dari ceruk ternyaman rumah. Ted Sarandos, CEO Netflix, dikenal lewat kritik pedasnya terhadap kultur menonton film di bioskop. Dilansir The Variety, Sarandos beropini kalau menonton di bioskop bukan untuk semua orang. Ia menambahkan, itu adalah keinginan studio/industri, bukan konsumen.
Dengan prinsip itu, wajar bila orang khawatir Netflix akan mematikan bioskop lewat rencana akuisisi Warner Bros. Jangan lupa, Warner Bros. juga perusahaan di balik kanal HBO yang dikenal sebagai rumah untuk serial-serial berkualitas tinggi seperti Game of Thrones, The Wire, Chernobyl dan The Last of Us. Dengan akuisisi ini, Netflix berpotensi menguasai itu semua, memonopoli pasar dan menciptakan ketergantungan. Bahkan, diprediksi lebih masif dari yang dilakukan Amazon saat melakukan merger dengan Metro-Goldwyn-Mayer (MGM Studios).