Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Hayley Williams saat membawakan lagu "True Believer" di acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon
Hayley Williams saat membawakan lagu "True Believer" di acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon (instagram.com/fallontonight) (

Intinya sih...

  • "My Hometown is Sinking" - Stephanie Poetri

  • Menyindir keresahan anak muda Jakarta terhadap masa depan ekonomi dan perubahan iklim.

  • "The Happy Dictator" - Gorillaz, Sparks

  • Menggambarkan situasi pemerintah yang memfilter berita untuk menciptakan ketertiban.

  • "True Believer" - Hayley Williams

  • Kritik terhadap penyimpangan agama dengan kapitalisme di Nashville, Amerika Serikat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tak terasa tahun 2025 bakal berakhir dalam waktu dekat. Selama setahun belakangan ini, jelas banyak hal yang sudah terjadi. Dalam level personal maupun global, ada beberapa pola perilaku yang terjadi. Mulai dari kapitalisme yang makin menjadi-jadi, perdebatan antara nilai konservatif dan progresif, sampai krisis ekonomi yang bikin banyak generasi muda mulai resah dan pesimis akan masa depan.

Kalau boleh merangkum tahun 2025 lewat musik, lima lagu berikut bisa jadi deskripsi situasi sosial politik tahun ini. Disarikan dari musisi dari berbagai negara, ternyata apa yang jadi keresahan kita, dirasakan juga oleh orang di berbagai penjuru dunia.

1. “My Hometown is Sinking” - Stephanie Poetri

“My Hometown is Sinking” sebenarnya sebuah “surat cinta” dari Stephanie Poetri untuk kampung halamannya, Jakarta. Namun, kalau kamu perhatikan, ia juga mengekspresikan keresahan khas anak muda, terutama Gen Z yang diwakilinya.

Seiring dengan memburuknya situasi ekonomi dan perubahan iklim, anak-anak muda cenderung pesimis dengan masa depan mereka. Lirik satirenya menampar jiwa.

Stephanie Poetri seolah menyindir kata-kata andalan generasi tua yang suka meremehkan dan menghakimi tantangan hidup anak muda. Daripada memikirkan harga cicilan rumah dan biaya berkeluarga yang di luar nalar, kita dibilang lebih suka menghamburkan uang untuk healing. Padahal, sebenarnya perubahan perilaku konsumsi ini salah siapa, sih?

2. “The Happy Dictator” - Gorillaz, Sparks

Lagu “The Happy Dictator” tercipta dari perjalanan Damon Albarn (pentolan Gorillaz) ke Turkmenistan yang pemerintahnya secara strategis memfilter berita yang boleh disebar dan tidak. Tujuannya untuk menciptakan “ketertiban” dan menyakinkan warga kalau negaranya baik-baik saja. Ini amat familier dengan situasi di dalam negeri, terutama ketika pengambil kebijakan berusaha memblok kritik dengan menampik kabar buruk atau masalah dari kebijakan yang mereka ciptakan.

Dalam konteks lebih luas, situasi tenang itu juga bisa menguntungkan kapitalis alias pemilik modal besar yang bisa melakukan banyak hal. Dengan menjaga ketertiban dan memastikan rakyat terhibur, berbagai terobosan yang entah pertimbangan etikanya sudah benar atau belum bisa mereka lancarkan dengan mudah. Contoh ideal untuk konteks ini tentu saja media sosial yang mendistraksi kita dari kesadaran kelas dan politik lewat konsumerisme dan diskursus-diskursus tertentu guna melanggengkan konflik horizontal.

3. “True Believer”- Hayley Williams

Kalau Stephanie Poetri menulis surat cinta buat Jakarta, Hayley Williams menulis “True Believer” untuk kampung halamannya, Nashville. Sebagai salah satu wilayah di Amerika Serikat yang identik dengan konservatisme, Williams mengkritisi berbagai penyimpangan yang terjadi di sana, terutama tren mengawinkan agama dengan kapitalisme. Ini yang kemudian memunculkan gereja-gereja berbasis profit sampai idelogi supremasi etnik tertentu.

Naiknya popularitas kelompok-kelompok kepentingan yang memanfaatkan agama memang jadi perdebatan sengit di Amerika Serikat. Namun, sebenarnya ini isu global alias familier di banyak negara, termasuk Indonesia. Sebuah pengamatan dan kritik sosial menarik dari musisi yang baru merilis album solo keduanya secara independen.

4. “Good Boy”- Paris Paloma

Relasi lekat patriarki dan kapitalisme adalah tema besar dalam lagu terbaru Paris Paloma, “Good Boy”. Dalam lagu ini, ia bergargumen kalau pria sama-sama dirugikan dalam sistem patriarki dan kapitalisme selayaknya perempuan. Hanya saja, pria tidak menyadarinya sampai terlambat. Sesetia dan segigih apa pun mereka mencoba menaiki tangga karier, tidak ada jaminan mereka bakal bisa bersanding dengan para elite.

Dilengkapi video musik yang provokatif dan sinematik, tidak berlebihan menyebut “Good Boy” sebagai salah satu lagu yang mendeskripsikan tahun 2025. Makin banyak dari kita yang melek isu kelas dan ini sebuah langkah yang perlu dipertahankan. Ini bukan pertama kalinya Paris Paloma mengkritik pedas patriarki. Lagunya yang berjudul “Labour” juga menyenggol isu serupa, tetapi dari kacamata perempuan.

5. “Price on Fun” - Chloe Slater

Lagu “Price on Fun” dari musisi pendatang baru Chloe Slater adalah sebuah sindiran untuk diri sendiri dan banyak orang saat ini. Kita dihadapkan pada berbagai masalah, seperti inflasi, tetapi dipaksa tetap beraktivitas normal, karena tagihan dan kebutuhan sehari-hari tetap harus dibayar.

Di sisi lain, media sosial dipenuhi dengan berita-berita memilukan, mulai dari konflik yang tak berkesudahan, genosida, krisis iklim, dan ketimpangan ekonomi, tetapi kita tak bisa melakukan apa-apa. Miris, lagi-lagi kita diminta tetap waras di tengah situasi yang gak mendukung.

Tahun 2025 bisa jadi tahun terbaik atau terburukmu dalam level personal. Namun, dalam konteks global, rasanya kita bisa setuju dengan lima lagu di atas. Bumi dan manusia sedang tak baik-baik saja. Setuju?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team