Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
The Witch (dok. A24/The Witch)
The Witch (dok. A24/The Witch)

Ada satu kecenderungan yang cukup mencolok dalam film-film masa kini? Ya, makin minimnya penggunaan score dan soundtrack. Bukan berarti hilang sama sekali, tetapi relevansi dan perannya semakin minim.

Dahulu, film dan lagu layaknya dua hal yang susah dipisahkan. **Lagu “A Thousand Miles” miliknya Vanessa Carlton misalnya jadi hits setelah diputar di film Legaly Blonde (2001), Dashboard Confessional membuat “Vindicated” khusus sebagai soundtrack utama film Spider-Man 2 (2004), “Baby, I Love Your Way” yang dibawakan Peter Frampton terdengar di film Reality Bites (1994). Ingat pula koleksi lagu-lagu rock di film The Crow (1994) yang dikompilasi jadi 1 album sensasional.

Sekarang coba ingat, soundtrack film apa yang terngiang di kepalamu? Jumlahnya cukup terbatas, bukan? Apa alasan di balik kecenderungan ini? Benarkah soundtrack dan score sudah mati?

1. Label rekaman gak lagi butuh film untuk promosi

Wednesday (dok. Netflix/Wednesday)

Ada satu argumen menarik yang disebut vlogger musik Finn Mckenty alias The Punk Rock MBA lewat kanalnya. Menurutnya, salah satu alasan soundtrack film kini tak lagi terasa penting adalah pergeseran sikap pasar. Dengan kehadiran platform streaming dan media sosial, label rekaman dan distributor musik tak lagi melirik film sebagai salah satu jalur promosi yang strategis.

Apalagi film sekarang kalah dengan serial televisi yang terbukti lebih ampuh menaikkan popularitas lagu. Ambil contoh lagunya Kate Bush yang berjudul “Running Up That Hill (A Deal with God)” mendadak viral puluhan tahun setelah dirilis gara-gara jadi soundtrack serial Stranger Things musim keempat. Begitu pula dengan lagu “Goo Goo Muck” milik The Cramps yang populer setelah diputar pada salah satu adegan ikonik di serial Wednesday.

2. Prinsip minimalisme bikin score film jadi lebih naturalistik

The Brutalist (dok. A24/The Brutalist)

Gak bisa dipungkiri pula kalau prinsip minimalisme mempengaruhi score dan soundtrack film. Liputan Fran Hoepfner untuk Vulture berjudul ‘The Death of Classic Film Score’ menunjukkan kalau makin banyak film modern yang pakai score minimalis. Mereka tidak hilang, tetapi dibuat dengan pendekatan yang berbeda.

Scoring film The Brutalist (2024) sebenarnya pakai orkestra secara umum, tetapi dalam prosesnya Daniel Blumberg sang komposer bereksperimen dengan perangkat elektronik hingga benda-benda yang ada di sekitarnya, seperti kertas dan sekrup. Ini memungkinkannya mendapatkan suara yang sesuai dengan tema filmnya, industrialis. Hal serupa dilakukan Kris Bowers untuk The Wild Robot (2024). Ia sengaja berkolaborasi dengan grup orkestra Sandbox Percussion untuk menciptakan komposisi musik yang menyerupai suara bambu dan logam yang bertumbukan. Beberapa film lain yang pakai pendekatan sama antara lain The Zone of Interest (2023), Conclave (2024), dan All Quiet on the Western Front (2022).

3. Naiknya popularitas film indie berbujet rendah

In a Violent Nature (dok. IFC Films/In a Violent Nature)

Prinsip minimalisme ini juga banyak kamu temukan di film-film horor dan thriller modern, terutama yang berstatus independen. Ketimbang memasukkan score dan lagu, kerap kali adegan-adegan menegangkan dalam film horor dan thriller kekinian dibuat tanpa ada suara pengiring sama sekali. Bahkan film In A Violent Nature (2024) rilisan IFC Films hampir tak pakai scoring sama sekali. Pendekatan ASMR (Autonomous Sensory Meridian Response) ini menuai pro dan kontra. Ada yang suka, tetapi gak sedikit yang merindukan backsound ngeri ala film horor klasik.

Kesuksesan distributor-distributor independen juga bikin soundtrack dan score tak lagi relevan. Maklum saja, untuk mengurus royalti alias hak putar, harga yang harus dibayar rumah produksi tidak murah. Tak heran, banyak film indie yang memilih untuk tidak mengambil risiko. Bila saja mereka memilih pakai soundtrack, biasanya kuantitasnya terbatas. Sean Baker adalah salah satu contoh sutradara yang sering pakai soundtrack tunggal dalam filmnya. Kalau kamu perhatikan, Red Rocket (2021) dan Anora (2024) hanya memutar satu lagu beberapa kali untuk beberapa adegan terpisah.

4. Film-film reboot, remake, dan adaptasi komik menghidupkan kembali soundtrack

film Barbie (dok. Universal Pictures/Barbie)

Namun, bukan berarti soundtrack benar-benar mati dan kehilangan relevansi. Beberapa film reboot, remake dan adaptasi, terutama yang dibuat rumah produksi mayor (non-independen) masih menggunakan soundtrack sebagai elemen krusial dalam film-film mereka. James Gunn adalah salah satu sutradara yang membangkitkan kembali relevansi lagu dalam film lewat Guardians of the Galaxy (2014) dan yang terbaru, Superman (2025).

Barbie (2023) memperkenalkan kembali original soundtrack (OST) ke khalayak. Deadpool & Wolverine (2024) membuat lagu “Bye Bye Bye” milik boy group 90-an NSYNC’ naik ke permukaan. Jangan lupakan pula viralnya lagu “Sunflower” yang dibawakan Post Malone dan Swae Lee gara-gara film Spider‑Man: Into the Spider‑Verse (2018).

Bukan mati, tetapi situasi pasar saja yang menggeser relevansi soundtrack dan gaya scoring dalam film. Kehadiran media sosial, platform streaming, dan pemain independen yang memperkenalkan minimalisme dalam pasar film memang bikin ini tak terelakkan. Apa pendapatmu? Menyayangkan atau justru mengamininya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team