Horor slow-burn, dengan pendekatannya yang berbeda dari horor konvensional, telah menciptakan sebuah niche tersendiri dalam industri perfilman. Siksa Kubur (2024) muncul sebagai contoh terkini dari genre tersebut. Film ini menawarkan pengalaman yang tak hanya mengandalkan ketakutan instan, tetapi juga membangun suasana dan karakter lewat kisah seorang wanita yang ingin membuktikan kebenaran tentang ajaran agamanya.
Sayangnya, penerimaan penonton terhadap film karya Joko Anwar tersebut terbagi. Sebagian memuji Siksa Kubur karena pendekatannya yang segar dan berbeda dari film horor lokal pada umumnya. Sementara sebagian lainnya mengkritik pacing film yang lambat dan bertele-tele, merasa bahwa film ini gagal dalam memberikan kepuasan yang biasanya ditawarkan oleh film horor konvensional.
Namun, Siksa Kubur bukanlah satu-satunya kasus di mana film horor slow-burn menghadapi reaksi yang polarisasi. Fenomena ini menandakan adanya perbedaan yang lebih luas dalam preferensi penonton terhadap genre horor.
Apa yang menjadi penyebab ketidak sukaan sebagian penonton terhadap film horor slow-burn? Apakah ini berkaitan dengan ritme cerita yang dianggap lambat, ataukah faktor lain seperti pengembangan karakter dan ketidakpastian dalam resolusi cerita? Artikel ini akan menyelami berbagai aspek tersebut untuk memahami alasan di balik preferensi penonton dan dampaknya terhadap penerimaan film horor slow-burn di industri perfilman.