Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Janur Ireng
Janur Ireng (dok. MD Pictures/Janur Ireng)

Intinya sih...

  • Tokoh utama yang terjebak keadaan

  • Penggunaan latar tempat yang mencekam

  • Ritual dengan intensitas berbeda

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setelah sukses mencuri perhatian lewat Sewu Dino (2023), semesta horor karya SimpleMan kini berlanjut lewat Janur Ireng yang sudah tayang di bioskop sejak Rabu (24/12/2025)lalu. Film ini hadir sebagai kepingan penting yang mengungkap asal mula santet Sewu Dino.

Meski berada dalam satu benang merah cerita, kedua film ini menawarkan pengalaman horor yang tak sepenuhnya serupa. Mulai dari atmosfer, pengembangan karakter, hingga tingkat kengerian yang dihadirkan. Keduanya bisa saja membagi penonton soal mana yang lebih berkesan. Yuk, kita bahas perbedaan Sewu Dino dan Janur Ireng yang tengah menjadi buah bibir berikut ini!

1. Tokoh utama yang sama-sama terjebak keadaan

Sewu Dino dan Janur Ireng (dok. MD Pictures/Sewu Dino dan Janur Ireng)

Baik Sewu Dino maupun Janur Ireng, keduanya menempatkan tokoh utama sebagai sosok lugu yang akhirnya terseret oleh keadaan. Di film pertamanya, karakter ini dihidupkan oleh Mikha Tambayong sebagai Sri, pembantu yang direkrut Mbah Karsa (Karina Suwandi) untuk merawat Della (Gisellma Firmansyah).

Film ini memberi ruang cukup untuk menggali motivasi Sri. Pun Kebimbangan antara bertahan dan pergi, hingga ketidaktahuannya terhadap dunia santet yang berubah menjadi keberanian. Perjalanan karakter Sri terasa utuh. Puncaknya, saat ia berani mengorbankan diri masuk ke dunia sukma dan menolak bayaran dari Mbah Karsa karena prinsip yang ia pegang. Proses ini membuat penonton dekat dan bersimpati pada Sri.

Sementara itu, Janur Ireng hadir sebagai pelengkap serta kemungkinan untuk pembuka cerita lanjutan. Namun, fokus cerita yang terpecah ke banyak tokoh, membuat pengembangan karakter Sabdo (Marthino Lio) terasa kurang kuat. Padahal, Sabdo sama-sama menjadi korban yang terpaksa terlibat dalam pengiriman santet. Sayangnya, film ini belum sepenuhnya berhasil membangun empati penonton terhadap konflik batin Sabdo.

2. Penggunaan latar tempat yang berbeda, tapi sama-sama mencekam

Sewu Dino (dok. MD Pictures/Sewu Dino)

Latar tempat menjadi elemen penting yang memperkuat horor di kedua film ini. Sewu Dino banyak didominasi di ruang-ruang terisolasi. Selama 1.000 hari, Della diikat di dalam keranda tertutup, ditempatkan di gubuk tanpa listrik, dan jauh dari permukiman warga. Ruang yang terbatas dan sunyi ini menciptakan rasa terkurung yang konstan.

Sebaliknya, di film terbarunya, Janur Ireng, ini justru banyak mengambil latar di rumah mewah milik Arjo Kuncoro (Tora Sudiro). Bangunannya luas dan dipenuhi perabot kayu bernuansa Jawa. Alih-alih terasa aman, kemewahan ini justru menghadirkan atmosfer dingin dan mengancam. Dua pendekatan yang berbeda, tetapi efektif membangun nuansa horor dengan caranya masing-masing.

3. Ritual yang ditampilkan memiliki intensitas berbeda

Janur Ireng (dok. MD Pictures/Janur Ireng)

Berada dalam semesta SimpleMan yang sama, keduanya menampilkan bagaimana Trah Pitu merawat makhluk gaib ingonnya masing-masing melalui ritual-ritual khusus. Mantra-mantra Jawa, istilah tradisional, dan praktik spiritual menjadi fondasi horor di Sewu Dino dan Janur Ireng.

Dalam Sewu Dino, ritual yang ditonjolkan adalah basuh sedo, proses membersihkan tubuh Della untuk menenangkan Sengarturih di dalamnya. Sementara di Janur Ireng, ritual yang dihadirkan jauh lebih banyak dan ekstrem. Mulai dari penyembelihan kambing hitam untuk memanggil Bokolono, hingga ritual bersifat tidak senonoh demi menjadikan seseorang sebagai Ranum, perisai keluarga. Intensitas ritual inilah yang membuat Janur Ireng terasa lebih brutal secara spiritual.

4. Proses pengiriman santet diceritakan dengan cara berbeda

Sewu Dino (dok. MD Pictures/Sewu Dino)

Dalam Sewu Dino, proses pengiriman santet tidak diperlihatkan secara detail. Film ini lebih fokus pada dampak santet yang berlangsung selama seribu hari, serta bagaimana cara mengakhirinya. Penonton diajak menyaksikan penderitaan akibat santet, bukan proses kelahirannya.

Sebagai pelengkap cerita, Janur Ireng justru menyoroti proses pengiriman santet secara rinci. Mulai dari pengumpulan syarat, hingga ritual yang mampu menghabisi banyak nyawa sekaligus. Alih-alih mengulang, Janur Ireng justru memperluas pemahaman tentang teror yang sebelumnya hanya terasa akibatnya.

5. Tingkat kekerasan hadir dengan rasa berbeda

Janur Ireng (dok. MD Pictures/Janur Ireng)

Dari sisi visual, Sewu Dino lebih bermain pada horor psikologis dan ketegangan suasana. Adegan kekerasannya terbatas, hanya ditampilkan pada saat Sengarturih mengambil alih tubuh Della dan menyerang orang lain.

Berbeda dengan itu, film terbaru mereka, Janur Ireng, tampil lebih berani dalam menampilkan gore. Tak hanya lewat Intan yang kerasukan, penonton juga disuguhi adegan para tamu undangan keluarga Kuncoro yang saling melukai diri sendiri. Kekerasan ini berujung pada kematian massal yang brutal.

Berjalan di jalur horor yang berbeda, Sewu Dino bekerja lewat ketegangan sunyi. Sedangkan Janur Ireng hadir lebih ekspansif dalam menggali ritual, politik kekuasaan keluarga, serta kekerasan yang ditampilkan tanpa banyak menahan diri.

Jadi, jika kamu lebih menikmati horor slow burn, Sewu Dino mungkin akan lebih membekas. Namun, kalau kamu tertarik pada horor yang intens secara visual, Janur Ireng bisa jadi pilihan yang lebih memuaskan. Ngomong-ngomong, kamu bisa menyaksikan Sewu Dino di Prime Video dan Janur Ireng di bioskop sekarang, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team